Saat ini, Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen (Purn) Kivlan Zen pasti terus dihantui kegelisahan luar biasa. Tidak bisa tidur lelap, sudah pasti. Perasaan dan pikiran tidak tenang, tentu saja. Bukan cuma karena sumpeknya ruangan tahanan di Rumah Tahanan Guntur yang penahanannya diperpanjang lagi selama 40 hari.
Yang membuat Kivlan gelisah adalah ancaman pidana yang terus memelototinya atas dua dugaan tindak pidana yang sangat mungkin menjeratnya.
Pertama, kepemilikan senjata api ilegal, dan kedua, rencana pembunuhan terhadap empat tokoh nasional dan satu direktur eksekutif lembaga survey.
Di tengah-tengah hebohnya persidangan gugatan PHPU Pilpres di MK, kita perlu tetap mengingat, bahkan mencermati ancaman pidana untuk Kivlan. Pasalnya, kegelisahan Kivlan itu tidak berdiri sendiri. Tali menali dengan peristiwa Pilpres yang hasil perhitungan suaranya digugat dan tengah disidangkan di MK.
Pertama, kepemilikan senjata ilegalÂ
Siapa saja yang coba memiliki senjata api secara ilegal ia diancam ketentuan pidana Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No 12 Tahun 1951. Ketentuannya:
"Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun".
Berdasarkan ketentuan itu, ada tiga kemungkinan ancaman pidana yang jadi patokan hakim untuk memutuskan hukuman pelaku, dalam hal ini Kivlan. Semuanya tidak menyenangkan. Paling tinggi hukuman mati dan paling rendah hukuman penjara 20 tahun.
Mana yang diputuskan hakim, sangat tergantung pada beberapa hal. Di antaranya ialah motivasi, sekaligus tujuannya, memiliki senjata. Dalam ilmu hukum, hal ini dikenal dengan istilah mens rea.
Untuk mengetahui niatnya itu, pertanyaan hakim akan selalu menggali apa alasannnya memiliki senjata api. Apakah sekedar melindungi diri atau untuk tujuan lain? Bila sekedar jaga-jaga, untuk melindungi diri, hukumannya pasti lebih ringan dibanding dengan memiliki senjata untuk tujuan jahat, seperti merampok atau membunuh.
Faktor penentu lainnya adalah sikapnya selama persidangan di pengadilan. Makin kooperatif, bersikap santun atau sopan dalam berkata-kata, dalam menyampaikan keterangan kepada jaksa penuntut umum (JPU) maupun kepada hakim di ruang pengadilan, maka peluangnya mendapatkan hukuman lebih ringan dimungkinkan. Namun, jika sebaliknya, maka hukumannya bisa lebih berat.
Apabila Kilvan menghendaki hukuman yang lebih rendah, walaupun tak rendah-rendah banget, 20 tahun, maka selama persidangan ia perlu kooperatif dengan jaksa maupun hakim. Kivlan perlu bicara jujur, bicara apa adanya, tidak berbelit-belit, dan berlaku sopan ketika memberikan keterangan dalam persidangan.