Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Prabowo Membohongi Diri Sendiri

8 Mei 2019   15:30 Diperbarui: 9 Mei 2019   07:38 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratna Sarumpaet dan Prabowo Subianto/tempo.co

Sampai saat ini, Prabowo dan relawan Paslon 02 (02) masih bersikukuh telah memenangkan Pilpres 2019. Ada kecenderungan menolak hasil perhitungan suara resmi. Jangan lagi bicara prediksi quick count (hitung cepat) dari lembaga-lembaga survey profesional. Itu sudah disingkirkan. Dianggap sampah. Yang tengah disiapkan justru alasan untuk menolak perhitungan suara resmi dari KPU.

Penolakan itu tampaknya sudah direncanakan lama. Cermati saja perbicangan di kalangan pendung 02 selama masa kampanye. Mereka selalu menyebar isu bahwa Pilpres 2019 pasti dimenangkan oleh 02. Namun, dalam perhitungan suara, ia dicurangi. Dikalahkan! Yang dimenangkan adalah 01, Jokowi. Itu yang terus dikumandangkan.

Isu sesat itu dilontarkan begitu saja. Tidak disertai bukti apa-apa. Juga tak menunjukkan indikasi atau alasan pendukung. Yang dikemukakan malahan kritik terhadap janji Jokowi pada Pilpres 2014 yang belum terpenuhi. Contohnya, tentang harga bahan pokok yang dinilai mencekik, melonjaknya utang negara, kasus BPJS, korupsi yang tak pernah surut kendati sudah banyak OTT KPK, dan seterusnya yang selalu dinyanyikan oleh Fadli Zon, Fahri Hamzah, Amien Rais, dan lainnya.

Disadari atau tidak, penyebaran isu itu selama masa kampanye mampu mengubah sikap banyak pemilih. Yang semula condong kepada Jokowi, apalagi yang belum menentapkan pilihan, banyak yang percaya dan akhirnya memilih 02.

Tapi itu sudah berlalu. Mereka memilih Jokowi atau Prabowo dengan alasan apa pun sudah merupakan hak mereka.

Merusak keadaan 

Yang menjadi persoalan, ialah tindakan Prabowo yang terus mendeklarasikan kemenangan tanpa dukungan data dan fakta. Ini sudah jauh  menyimpang. Tidak masuk akal. Benar-benar merusak keadaan, membuat masyarakat bingung, terganggu,  sehingga bisa melahirkan berbagai efek buruk bagi siapa pun.

Kalau nantinya Prabowo menolak hasil perhitungan suara sah dengan pengerahan massa, people power, maka ancaman pidana tengah mengintip, bahkan menunggu di depan pintu rumah Prabowo sendiri.

Kata kuncinya ialah hoax, bohong. Tapi, bukan bohong biasa seperti siswa membohongi guru, orang tua, teman, pacar, untuk urusan privat atau sekedar gurau. Ini urusan umum dan serius. Menyangkut keamanan umum yang bisa mengganggu, merusak, eksistensi bangsa dan negara.

Arti "hoaks" (hoax) dalam KBBI memang tampak ringan. Sekedar berita bohong. Tetapi dalam Oxford English dictionary, "hoax" didefinisikan sebagai malicious deception atau kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat.

Tujuan jahat itulah yang menjadi urusan pidana. Sangat mirip, kalau tidak mau disebut sama,  dengan hoax Ratna Sarumpaet (RS). Mengapa sama? Karena deklarasi tanpa fakta sudah melanggar ketentuan Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang juga diterapkan kepada RS.

Ketentuannya: "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun."

Selain itu, Prabowo juga bisa dijerat dengan ketentuan Pasal 28 Ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, yang juga diterapkan kepada RS. Mengapa? Karena ia dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Ancaman pidananya ialah pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ini diatur dalam Pasal 45A, ayat (2) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Unsur Pidana Ancaman

Memang ada pendapat yang mengatakan penerapan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak tepat, seperti pernah dilontarkan pengacara RS dalam persidangan RS.  Ada juga yang bilang bahwa Pasal 14 UU No 1 tahun 1946 hanya berlaku pada masa revolusi.

Alasan terakhir lupa bahwa UU No 1 tahun 1946 masih berlaku. Belum dicabut. Keberlakuannya pun belum dibatasi oleh masa atau tahun. Ini tegas diatur pada Pasal 5 UU tersebut. Sepanjang bisa dijalankan, masih berarti, dan tidak bertentangan dengan kedudukan RI sebagai bangsa merdeka, maka peraturan hukum pidana baik sebagian maupun seluruhnya tetap berlaku.

Alasan belum terjadinya keonaran juga keliru. Mengapa? Mari kita sandingkan unsur perbuatan pidana di kedua pasal tersebut. Dalam Pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946, ada tiga unsur perbuatan pidana: (1) menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, (2) sesuatu itu dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, (3) yang bersangkutan atau penyebar berita patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong.

Dalam Pasal 28 UU ITE ada empat unsur: (1) Setiap Orang (2) dengan sengaja dan tanpa hak (3) menyebarkan informasi (4) yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Perhatikan kata "dapat" pada unsur (2) UU No 1 tahun 1946. Kata "dapat" dalam kalimat itu menunjukkan tidak harus ada atau terjadi keonaran lebih dahulu baru bisa dipidanakan. Tidak harus menunggu terjadinya huru-hara atau keributan dalam arti fisik. Tidak menunggu kelompok melawan kelompok lain, berkelahi, perang, atau bunuh-bunuhan. Bisa saja sudah terjadi, belum terjadi, atau akan terjadi.

Dalam KBBI sendiri memberikan batasan arti kata onar, keonaran, gempar, dan kegemparan. Orang gempar, bingung, ribut dalam satu rumah karena mendengar kabar bohong atau melihat adanya kebakaran saja sudah dikategorikan keonaran. Padahal itu bisa saja tidak ada kaitannya dengan kepentingan keluarga yang bersangkutan.

Unsur yang dilanggar dalam UU ITE lebih jelas lagi. Deklarasi bukan cuma melanggar unsur (2), yaitu dengan sengaja tanpa hak. Yang lebih buruk adalah unsur (4), yaitu "yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu..."

Apakah ini sudah terjadi? Ya! Pada tingkat individu hoax tersebut telah membuat banyak individu yang semula berkawan, tetapi gara-gara deklarasi hoax hubungan mereka jadi renggang. Anggota masyarakat makin bingung. Waktu, pikiran, dan tenaga banyak dihabiskan untuk membahas, memerdebatkan hal-hal yang sebetulnya tak perlu itu karena kerap berakhir dengan ketegangan. Ini jelas merugikan dan mengacaukan, bukan?

Pada tingkat kelompok, utamanya antar dua kubu juga begitu. Pasca deklarasi hoax sulit menyaksikan rasa nyaman, damai, dan sikap bersahabat sebagai anak bangsa. Yang menonjol adalah sikap kubu-kubuan, salah-menyalahkan, tuduh-menusuh, hina-mengina, dst. Kalau berketerusan, besar kemungkinan situasi itu bisa berujung pada perpecahan, yang merusak keutuhan bangsa dan negara.

Akibat-akibat itu pasti dipahami betul oleh Prabowo. Ia pasti paham apa yang ditegaskan pada unsur ke (3) UU ITE di atas. Sebab, secara fisik beliau tampak sehat dan dapat bertanggung jawab menurut hukum. Inilah yang dapat menjadi dasar hukum memidanakan Prabowo.

Tetap Bisa diciduk

Satu-satunya hal yang bisa meloloskan Prabowo dari delik itu ialah hasil perhitungan suara KPU. Apabila hasil akhir menunjukkan Paslon 02 menang, maka dengan sendirinya ancaman pidana hoax gugur. Pada saat itu, Prabowo dan seluruh relawan boleh mengadakan perayaan keliling kota Jakarta selama tujuh hari tujuh malam sambil mimum soda gembira atau apa saja yang patut. Setelah capek bisa dilanjutkan leyeh-leyeh sambil mendengarkan lagu-lagu heroik ciptaan Ahmad Dhani atau dangdut ciptaan om Rhoma Irama. Terserah.

Namun, bila sebaliknya, Prabowo kalah, maka tindakan hukum atas hoax yang dilakukannya perlu segera diambil. Jangan dilupakan. Ia bisa diciduk dan diproses dengan ketentuan tersebutkan di muka persis seperti Ratna Sarumpaet.

Jika itu yang terjadi, maka deklarasi kemenangan hoax sama artinya dengan Prabowo me-Ratna Sarumpaet-kan dirinya sendiri. ***

Artikel terkait:

Pak Prabowo, Sudahlah, Jangan Mau Dikibuli!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun