Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Prabowo Membohongi Diri Sendiri

8 Mei 2019   15:30 Diperbarui: 9 Mei 2019   07:38 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratna Sarumpaet dan Prabowo Subianto/tempo.co

Tujuan jahat itulah yang menjadi urusan pidana. Sangat mirip, kalau tidak mau disebut sama,  dengan hoax Ratna Sarumpaet (RS). Mengapa sama? Karena deklarasi tanpa fakta sudah melanggar ketentuan Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang juga diterapkan kepada RS.

Ketentuannya: "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun."

Selain itu, Prabowo juga bisa dijerat dengan ketentuan Pasal 28 Ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, yang juga diterapkan kepada RS. Mengapa? Karena ia dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Ancaman pidananya ialah pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ini diatur dalam Pasal 45A, ayat (2) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Unsur Pidana Ancaman

Memang ada pendapat yang mengatakan penerapan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak tepat, seperti pernah dilontarkan pengacara RS dalam persidangan RS.  Ada juga yang bilang bahwa Pasal 14 UU No 1 tahun 1946 hanya berlaku pada masa revolusi.

Alasan terakhir lupa bahwa UU No 1 tahun 1946 masih berlaku. Belum dicabut. Keberlakuannya pun belum dibatasi oleh masa atau tahun. Ini tegas diatur pada Pasal 5 UU tersebut. Sepanjang bisa dijalankan, masih berarti, dan tidak bertentangan dengan kedudukan RI sebagai bangsa merdeka, maka peraturan hukum pidana baik sebagian maupun seluruhnya tetap berlaku.

Alasan belum terjadinya keonaran juga keliru. Mengapa? Mari kita sandingkan unsur perbuatan pidana di kedua pasal tersebut. Dalam Pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946, ada tiga unsur perbuatan pidana: (1) menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, (2) sesuatu itu dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, (3) yang bersangkutan atau penyebar berita patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong.

Dalam Pasal 28 UU ITE ada empat unsur: (1) Setiap Orang (2) dengan sengaja dan tanpa hak (3) menyebarkan informasi (4) yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Perhatikan kata "dapat" pada unsur (2) UU No 1 tahun 1946. Kata "dapat" dalam kalimat itu menunjukkan tidak harus ada atau terjadi keonaran lebih dahulu baru bisa dipidanakan. Tidak harus menunggu terjadinya huru-hara atau keributan dalam arti fisik. Tidak menunggu kelompok melawan kelompok lain, berkelahi, perang, atau bunuh-bunuhan. Bisa saja sudah terjadi, belum terjadi, atau akan terjadi.

Dalam KBBI sendiri memberikan batasan arti kata onar, keonaran, gempar, dan kegemparan. Orang gempar, bingung, ribut dalam satu rumah karena mendengar kabar bohong atau melihat adanya kebakaran saja sudah dikategorikan keonaran. Padahal itu bisa saja tidak ada kaitannya dengan kepentingan keluarga yang bersangkutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun