Mohon tunggu...
Muhammad Yorga Permana
Muhammad Yorga Permana Mohon Tunggu... Guru - Seorang peneliti

Muhammad Yorga Permana, Seorang mahasiswa di Manajemen Rekayasa Industri ITB, peneliti di Lingkar Studi Melukis Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jarak Kita dengan Partai Politik

16 Oktober 2013   22:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:27 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Partai adalah pengorganisasian ide dan perbuatan untuk menciptakan kenegarawanan”

Donny Gahral


Joko Widodo, Ridwan Kamil, dan Tri Rismahani merupakan ikon fenomenal dari sebuah proses personalisasi politik di Indonesia. Hermawan Kertajaya, seorang pakar marketing, menyatakan bahwa pergeseran politik dari ideologi kepada personalisasi merupakan bagian integral dari tata dunia baru yang terwujud hari ini. Masyarakat demokratis yang cerdas tidak lagi menjadikan ideologi dan background sebagai pertimbangan utama dalam memilih, mereka cenderung melihat citra, terlepas apakah itu memang sejatinya sang tokoh atau hanya citra semu akibat ulah media belaka.

Ada satu nilai manfaat yang kita rasakan dari personalisasi politik. Munculnya figur Joko Widodo, Ridwan Kamil, atau Risma dalam Pilkada hari ini cukup menaikkan gairah pemuda dan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam demokrasi. Tokoh-tokoh di atas menjawab keraguan bahwa sebenarnya pemuda dan mahasiswa tidak lagi apolitis.

Namun, penulis masih melihat fenomena ini sebagai politik semu. Kita hanya memilih sebagian konsekuensi dari demokrasi sementara menolak yang lain. Meskipun banyak pemuda dan mahasiswa berperan aktif dalam Pilkada dan mengaku tidak lagi apolitis, mayoritas tetap antipati terhadap satu entitas bernama partai politik. Padahal, sama halnya dengan pemilu, partai politik adalah konsekuensi dari demokrasi.

Penulis melihat, setidaknya ada tiga faktor utama yang membuat jarak kita dengan partai politik begitu jauh.

Pertama, mahasiswa hari ini cenderung teknokratis alih-alih politis. Tidak bisa dibilang apatis tetapi cenderung hanya berpegang kepada kebenaran ilmiah dan objektivitas semu. Kita ragu untuk menunjukkan keberpihakan pemikiran kita kepada kubu tertentu. Atas nama netralitas kita mengambil jarak dengan pemihakan, salah satunya dengan sikap partai politik.

Kedua, mahasiswa terlalu jenuh dengan dinamika politik yang terjadi dalam perebutan kekuasaan organisasi kampus. Beragam kepentingan tejadi antara organisasi ekstra kampus yang seolah ‘disusupi’ kepentingan partai politik. Sebenarnya mahasiswa tidak terlalu keberatan apapun latar belakang pemimpin organisasi kampus jika mereka mempunyai kapasitas yang mumpuni dalam menuntaskan seluruh problematika kemahasiswaan. Sama halnya dengan Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, atau Joko Widodo, yang sebagian masyarakat tidak peduli siapa, partai apa, atau ideologi apa yang ada di belakang mereka.

Namun, sayangnya inkapabilitas kepemimpinan seorang pemimpin kampus, atau gerakan yang terlalu fokus hanya kepada satu isu (hanya kepada gerakan politik misalnya), membuat mahasiswa jenuh dengan kemahasiswaan dan ‘terpaksa’ melihat latar belakang para pemimpinnya. Publik jadi terlalu takut dengan dan menaruh curiga kepada partai politik atau organisasi apapun yang berasal dari luar kampus karena mengaitkan dengan konflik yang terjadi di organisasi kemahasiswaan.

Terakhir, faktor partai politik sendiri lah yang membuat mahasiswa, pemuda, dan umumnya masyarakat, tidak lagi percaya kepadanya. Juli 2013 lalu Lembaga Survei Nasional (LSN) merilis sebuah survei mengenai tingkat kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi seperti partai politik, ormas, LSM, media massa, mahasiswa, sampai lembaga survei. Dari kesemuanya, partai politik lah yang mendapat kepercayaan paling rendah. Sebanyak 53,9 persen sampel mengaku kurang percaya kepada parpol.

Komplikasi problematika di atas membuat jarak yang terbentang antara kita dan partai politik semakin lebar, lebih jauh lagi bahkan antara mahasiswa dengan politik itu sendiri. Kita akhirnya memilih untuk terus menjaga jarak, memutuskan untuk Golput dalam pemilu, dan mengatakan “Semua partai sama saja”.

Partai Masuk Kampus, Kenapa Tidak?

Siapa yang tidak mengenal Kamila Valejo? Valejo adalah seorang gadis cantik yang menjadi Presiden Federasi Mahasiswa Universitas de Santiago Chile. Pada tahun 2011 ia memimpin ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk menolak komersialisasi pendidikan. Aksinya ternyata menginspirasi ratusan ribu mahasiswa lain se-Amerika Latin untuk sama-sama turun ke jalan. Bahkan, the Guardian dan Times menobatkan Vallejo sebagai tokoh terpopuler tahun 2011. Yang menarik Valejo adalah seorang kader terdaftar dari Partai Komunis Chile dan dimajukan sebagai calon anggota kongres Chile tahun 2013 ini. Bagi Vallejo, keterlibatan mahasiswa dalam momentum pemilihan sangat penting untuk tetap menjaga pengaruh gerakan mahasiswa di tengah sektor-sektor sosial yang luas di masyarakat.

Mark Rutte, perdana menteri Belanda sejak tahun 2010 merupakan loyalis Partai Liberal Belanda (VVD). Ia direkrut oleh VVD saat masih menjadi mahasiswa Sejarah di Universitas Leiden. Pada tahun 1988 – 1992, saat masih mahasiswa, dirinya menjabat sebagai ketuaYouth Organisation Freedom and Democracy, sayap pemuda partai VVD.

Begitu pula Ismail Haniya Perdana Menteri Palestina dari Hamas, Erdogan Presiden Turki dari AKP, maupun Mursi dari Ikhwanul Muslimin Mesir, ketiganya sama-sama berinteraksi dengan organisasi politik sejak masih mengemban status mahasiswa.

Barangkali tak perlu jauh-jauh kita mengambil contoh. Partai politik adalah keniscayaan dalam memperjuangkan demokrasi. Bahkan kalau kita mundur satu abad ke belakang, partai politik menjadi satu entitas yang punya peran penting dalam mewujudkan kemerdekaan. Baik Soekarno, Hatta, maupun Semaun memimpin partai politik pada usia muda, usia mahasiswa.

Walaupun baru mendirikan PNI setahun setelah lulus dari ITB (waktu itu THS), Soekarno merumuskan pandangan politiknya Marhaenisme sejak dirinya masih mahasiswa. Begitu pula Semaun, meskipun tidak meneruskan pendidikannya hingga bangku kuliah, ia memisahkan diri dari Sarekat Islam dan mendirikan Partai Komunis Indonesia pada usia 21 tahun. Tidak jauh berbeda dengan Muhammad Hatta. Bagaimanapun Perhimpunan Indonesia yang ia pimpin ketika berkuliah di Belanda bukan sekadar organisasi sosial, tetapi juga organisasi politik.

Partai adalah satu entitas, meminjam istilah Donny Gahral, yang mengorganisasikan ide dan perbuatan untuk menciptakan kenegarawanan.  Partai seharusnya menjadi sarana kaderisasi bagi insan-insan muda untuk tumbuh menjadi negarawan di kemudian hari. Selain itu, sebagai konsekuensi dari demokrasi, partai politik menjadi instrumen bagi masyarakat untuk mengorganisasi kan ide dan gagasannya agar diterapkan dalam pemerintahan.

Oleh karena itu, merupakan satu pilihan bagi siapa pun yang menjadi agen perubahan sosial di dalam suatu masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas partai politik atau paling tidak menitipkan aspirasinya kepada partai politik, termasuk di dalamnya pemuda dan mahasiswa.

Apakah artinya penulis sepakat dengan gagasan partai masuk kampus? Tentu maknanya bukan setiap mahasiswa harus menjadi anggota partai politik, sekali lagi itu pilihan. Bukan pula kebebasan institusi kampus untuk memihak kepada satu partai atau tokoh politik tertentu. Secara institusional, kampus adalah entitas yang harus tetap menjaga independensinya.

Namun, sebagai individu, hak berpolitik menjadi hak setiap warga negara, termasuk pemuda dan mahasiswa. Pemihakan mahasiswa kepada partai politik tertentu tidak perlu dipandang sinis, sama halnya dengan deklarasi dukungan mahasiswa kepada sosok Joko Widodo, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, atau Dahlan Iskan misalnya.

Terlepas pekerjaan rumah yang menumpuk bagi partai politik (seperti korupsi sistematis, inkapabilitas kader, skandal seks para pengurusnya, yang akan saya kupas di tulisan selanjutnya), fenomena-fenomena ini seharusnya tidak membuat kita terus-menerus menjaga jarak dengan partai politik.

Tidak ada yang namanya netral. Objektifikasi pemikiran kita tentunya didukung oleh kerangka berpikir yang kita memihak kepadanya, entah itu ideologi islam, humanisme, liberal, Pancasilais, sosialisme, atau apa pun itu. Mengetengahkan diri ke dalam kubu netral secara tidak sadar sebenarnya sama dengan dengan membuat ‘partai’ baru. Sama halnya dengan Soekarno yang membuat poros ketiga, poros ‘Non Blok’ yang tidak memihak Blok Barat maupun Blok Timur.

Tidak ada yang namanya netral, yang ada adalah bijak dalam bersikap. Pun ketika kita memiliki satu kecenderungan tertentu kepada satu kubu, kita harus tetap terbuka terhadap pemikiran yang lain Apalagi ketika memegang amanah sebagai pejabat organisasi kampus. Pemihakan pandangan politik kita jangan sampai ditunjukkan secara eksplisit. Sekali lagi, berbeda dengan individu yang punya keberpihakan, institusi harus tetap menjaga independensinya. Kekritisan organisasi harus tetap dijunjung tinggi. Jangan sampai konsistensi fungsi social control menjadi pilah-pilih, lantang bersuara terhadap satu isu tetapi hanya menjadi penonton atas isu lain yang dianggap merugikan afiliasi sikap politiknya.

Sudah saatnya hari ini mahasiswa menghilangkan sekat antara dirinya dengan partai politik, lebih jauh lagi antara dirinya dengan politik. Adapun ketika pada akhirnya kita memiliki perbedaan pandangan dalam berpolitik, memiliki preferensi berbeda dalam memilih partai politik, saya rasa itu bukan masalah.

Kita masih bisa seperti Soekarno dan Hatta yang sering berbeda pendapat tetapi tetap berkawan akrab. Bahkan saat Soekarno ditangkap pemerintah kolonial, Hatta membela Soekarno melalui tulisan-tulisannya. Kita masih bisa seperti Soekarno dan Natsir yang berbeda pandangan tentang sekularisasi agama dan negara. Meskipun begitu, hubungan keduanya tetap hangat. Natsir diangkat menjadi menteri penerangan sekaligus menteri kesayangan Soekarno. Begitu pula Isa Ansary dan Aidit. Yang satu islamis sementara lainnya komunis. Keduanya berdebat di Konstituante tentang dasar negara. Namun, mereka tetap berkawan dekat, bisa makan sate bersama, bahkan Aidit sering menginap di rumah Isa Ansary.

Waktu masih panjang hingga pemilihan umum Mei 2014. Masih banyak waktu untuk mengkaji dan mendalami ideologi, haluan perjuangan, program dan arah kebijakan, sertatrackrecord dan kapasitas tokoh-tokoh di setiap partai politik. Saatnya kita mempersempit jarak kita dengan partai politik, alih-alih mengatakan “semua partai sama saja”. Hingga pada saatnya nanti kita akan menitipkan pesan perjuangan kita kepada orang yang tepat, kepada partai yang tepat. Selamat memilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun