Tidak ada yang namanya netral. Objektifikasi pemikiran kita tentunya didukung oleh kerangka berpikir yang kita memihak kepadanya, entah itu ideologi islam, humanisme, liberal, Pancasilais, sosialisme, atau apa pun itu. Mengetengahkan diri ke dalam kubu netral secara tidak sadar sebenarnya sama dengan dengan membuat ‘partai’ baru. Sama halnya dengan Soekarno yang membuat poros ketiga, poros ‘Non Blok’ yang tidak memihak Blok Barat maupun Blok Timur.
Tidak ada yang namanya netral, yang ada adalah bijak dalam bersikap. Pun ketika kita memiliki satu kecenderungan tertentu kepada satu kubu, kita harus tetap terbuka terhadap pemikiran yang lain Apalagi ketika memegang amanah sebagai pejabat organisasi kampus. Pemihakan pandangan politik kita jangan sampai ditunjukkan secara eksplisit. Sekali lagi, berbeda dengan individu yang punya keberpihakan, institusi harus tetap menjaga independensinya. Kekritisan organisasi harus tetap dijunjung tinggi. Jangan sampai konsistensi fungsi social control menjadi pilah-pilih, lantang bersuara terhadap satu isu tetapi hanya menjadi penonton atas isu lain yang dianggap merugikan afiliasi sikap politiknya.
Sudah saatnya hari ini mahasiswa menghilangkan sekat antara dirinya dengan partai politik, lebih jauh lagi antara dirinya dengan politik. Adapun ketika pada akhirnya kita memiliki perbedaan pandangan dalam berpolitik, memiliki preferensi berbeda dalam memilih partai politik, saya rasa itu bukan masalah.
Kita masih bisa seperti Soekarno dan Hatta yang sering berbeda pendapat tetapi tetap berkawan akrab. Bahkan saat Soekarno ditangkap pemerintah kolonial, Hatta membela Soekarno melalui tulisan-tulisannya. Kita masih bisa seperti Soekarno dan Natsir yang berbeda pandangan tentang sekularisasi agama dan negara. Meskipun begitu, hubungan keduanya tetap hangat. Natsir diangkat menjadi menteri penerangan sekaligus menteri kesayangan Soekarno. Begitu pula Isa Ansary dan Aidit. Yang satu islamis sementara lainnya komunis. Keduanya berdebat di Konstituante tentang dasar negara. Namun, mereka tetap berkawan dekat, bisa makan sate bersama, bahkan Aidit sering menginap di rumah Isa Ansary.
Waktu masih panjang hingga pemilihan umum Mei 2014. Masih banyak waktu untuk mengkaji dan mendalami ideologi, haluan perjuangan, program dan arah kebijakan, sertatrackrecord dan kapasitas tokoh-tokoh di setiap partai politik. Saatnya kita mempersempit jarak kita dengan partai politik, alih-alih mengatakan “semua partai sama saja”. Hingga pada saatnya nanti kita akan menitipkan pesan perjuangan kita kepada orang yang tepat, kepada partai yang tepat. Selamat memilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H