Mohon tunggu...
Yopi Ilhamsyah
Yopi Ilhamsyah Mohon Tunggu... Dosen - Herinnering

Herinnering

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kuntilanak di Daerah Bekas Sungai

21 Desember 2021   12:19 Diperbarui: 26 Juli 2022   12:30 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbang masuk komplek perumahan dinas di malam hari. Pohon Asam rimbun tumbuh di pinggir jalan dekat gerbang (sebelah kiri). Foto: Dokpri.

Kembali ke rumah dinas setelah sekian lama merantau ke tatar Sunda, saya disuguhi pemandangan komplek yang telah jauh berubah. Ingatan saya menerawang pada paruh kedua tahun 2006, kala itu seorang pimpinan mengabarkan bahwa nama saya tercantum sebagai salah seorang penerima bantuan rumah. Rumah-rumah ini diperuntukkan bagi korban Tsunami 2004 yang berkhidmat sebagai dosen dan tenaga kependidikan di salah satu universitas di Banda Aceh. Alhamdulillah, saya seorang korban yang masih diberi kesempatan menjalani periode kehidupan selepas musibah ombak besar di akhir tahun 2004. Saya pun mencari tahu lokasi tersebut dan menemukan 100 unit rumah telah berdiri di tanah milik universitas yang berlokasi di utara. Rumah-rumah ini berukuran 36 meter persegi, dibangun atas prakarsa Islamic Relief Turki.      

Usai tersambung arus listrik, saya segera pindah dari kos-kosan ke rumah bantuan baru ini.

Saat mulai tinggal di sini, suasana komplek masih sangat sepi. Penghuni rumah-rumah dinas ini masih sedikit dan kebanyakan mereka menempati blok belakang. Saya mendapati diri saya seorang diri sebagai penghuni di blok depan yang menghadap ke barat, rumah-rumah di sekitar masih kosong, belum ditempati. Jalan masuk berikut jalan-jalan penghubung antar blok masih berupa tanah, ketika hujan jalanan menjadi sangat becek dengan kubangan air di mana-mana. Komplek perumahan dinas ini terpisah dari kampung terdekat. Tanah tempat dibangunnya komplek ini adalah lahan milik universitas yang digarap menjadi kebun oleh warga sekitar.  

Hari-hari saya mendapati suasana hening, sesekali terdengar ketukan di kejauhan dari rumah yang sedang direhab. Malam hari suasana sangat gelap, penerangan hanya tampak di beberapa rumah di blok belakang.   

Pernah saya memindahkan lemari menggunakan becak barang di malam hari. Suasana gelap di luar membuat kami harus meninggikan gas becak motor agar nyala lampu lebih terang.

Perasaan takut kerap muncul jelang malam, sesekali di luar ada lalu lalang pekerja bangunan. Terkadang saya memutari komplek menggunakan senter, bau cat masih kuat tercium, ketika berpapasan kami saling menyapa dan mengobrol.

Jelang tengah malam, suara jangkrik mendominasi. Untuk menghilangkan ketakutan, biasanya saya menyalakan lampu di setiap ruangan, membesarkan suara televisi dan mengatur waktu untuk mematikan televisi secara otomatis seraya memejamkan mata agar segera tertidur.  

Di suatu subuh, saya terbangun pada pukul 04.00 WIB. Waktu sholat subuh masih satu jam lagi. Saya mencoba menutup mata agar kembali tertidur. Namun, tidak kunjung tertidur. Boleh jadi karena malam itu saya cepat tidur. "Pergi ke mushola saja-lah sambil jalan-jalan pagi," pikir saya dalam hati. Cuaca pada subuh itu terasa dingin sekali. Kondisi cuaca di pagi hari dapat menjadi indikator kondisi cuaca yang akan terjadi di siang hari.

Biasanya jika subuh terasa dingin maka siang harinya akan terik sementara jika subuh terasa gerah maka siang harinya akan turun hujan.

Suasana di luar seperti biasa sangat gelap dan hening. Baru keluar dari pintu, suara ombak pecah dari tepi pantai terdengar nyaring, seketika bulu kuduk merinding mengingat kejadian Tsunami beberapa waktu lalu. Oh ya, komplek ini hanya berjarak 2 kilometer dari bibir pantai di utara. Kala bulan terang, tepi pantai dapat terlihat jelas dari rumah saya dengan hanya dihalangi beberapa pohon kelapa yang masih tersisa. Kejadian Tsunami telah "membersihkan" wilayah di sekitar pantai.

Awalnya saya merasa ngeri tinggal di sini. Dengan pemandangan luas terhampar ke berbagai sudut termasuk pantai, kalau kembali terjadi gempa diikuti Tsunami, boleh jadi ombak tinggi tersebut akan tiba lebih cepat di komplek ini. Ini pula yang bikin rekan-rekan yang menerima hibah rumah dinas enggan untuk tinggal di sini.     

Kembali ke kejadian di subuh itu, saya berjalan kaki hingga sampai di pertigaan. Bermaksud menyeberangi jalan, saya terkejut dan spontan melompat kala menoleh ke arah kiri (sebelah barat) yang berjarak 20 meter. Saya melihat sesosok mengenakan baju putih panjang, seperti seseorang sedang menggunakan daster putih bergelantung di ranting pepohonan asam yang tumbuh di tepi gerbang masuk komplek.  

Saya mencoba mengarahkan senter ke pohon asam jawa, boleh jadi yang saya lihat mungkin jemuran pakaian yang terbang terbawa angin dan menyangkut di pepohonan, mengingat di dekat pohon asam ada rumah orang kampung.

Ketika saya perhatikan, pakaian putih tersebut seperti sesosok yang sedang duduk dengan bagian bawah bergoyang. Bagian atas (kepala) gelap seperti ditutupi rambut. Perasaan mengatakan "jangan-jangan itu bukan jemuran pakaian", bulu kuduk pun menegang. Subuh atau malam sebelumnya tidak pernah tampak bentangan kain putih di balik rimbunnya dahan pepohonan asam. 

Sontak saya pun menghambur kembali ke rumah. Awalnya saya masuk ke kamar depan, kemudian saya membayangkan "sosok" tersebut boleh jadi mengikuti saya dan berada di balik jendela depan. Saya pun beralih ke kamar belakang, menyalakan lampu, menutup tirai, berbaring di ranjang dengan badan menghadap ke dinding sambil menutup mata.

Saya tertidur hingga pukul 09.00 WIB pagi. Setelah hari benar-benar terang, sekira pukul 11.00 WIB, saya sambangi kembali pohon asam jawa tersebut. Tidak ada bekas pakaian tersangkut di sana. Yang tampak hanya cabang ranting pepohonan menjulang tinggi di birunya langit. Lantas siapakah yang saya lihat subuh tadi?

Sejak kejadian itu, saya selalu pulang lebih awal, dengan lebih dahulu membeli bekal makanan untuk malam hari dan berdiam diri di rumah hingga esok paginya. Dua bulan kemudian saya menikah dan pindah ke kampung lain.

Beberapa hari berlalu, saya bertemu Bang Mandor di sebuah keudee (warung) kopi di kampung sebelah. Beliau awalnya adalah pekerja pada proyek pembangunan rumah dinas ini sebagai kepala tukang. Beliau kerap disapa "Bang Mandor" oleh anak buahnya, jadi-lah saya ikut memanggil beliau dengan Bang Mandor. Seusai proyek, Bang Mandor bekerja di salah satu rumah yang sedang di rehab. Bang Mandor orang Medan berperawakan tegap dengan janggut lebat menghiasi dagu. Sementara bekerja merehab rumah, beliau tinggal di sebuah ruangan di mushola yang sedang dibangun. Sehari-hari sembari bekerja, beliau juga bertindak sebagai marbot mushola termasuk muazin dan imam.

Beliau bertanya tentang saya yang tidak lagi terlihat di mushola. "Seram bang keluar maghrib dan juga subuh di seputaran komplek," jawab saya. Saya pun menceritakan kejadian subuh lalu kepada Bang Mandor.

"Iya itu kuntilanak," sebut Bang Mandor. "Anak-anak (para buruh bangunan) pernah melihatnya di pohon asam belakang komplek," sambung Bang Mandor. "Tidak jelas juga apakah kuntilanak itu berasal dari arwah orang meninggal sekitar sini akibat Tsunami atau mungkin sudah ada sebelum Tsunami. Tapi dia tidak mengganggu, hanya menampakkan diri saja, barangkali butuh teman," seloroh Bang Mandor yang namanya saya sudah lupa.

"Rambutnya panjang sampai ke bawah, duduk di dahan pepohonan. Satu anak (seorang buruh) melihat penampakan kemudian memberitahukan kawan-kawan lain, mereka beramai-ramai mengintip dari balik rumah lagi dibangun. Ngeri juga kata mereka, takutnya kuntilanak itu melihat ke arah mereka dan didatangi pula. Lucunya sambil tidur-tiduran, sesekali mereka masih mengintip dan si kuntilanak masih ada di sana," ujar Bang Mandor dibarengi tawa.

"Pernah juga terlihat berdiri di teras bekas barak pengungsian di depan," lanjut Bang Mandor. Oh ya, di ujung depan jalan masuk sebelah utara ada barak pengungsian yang tidak lagi ditempati. Barak kosong ini berdiri di sisi lapangan bola kampung di pinggir jalan masuk ke komplek. Diliputi suasana sepi, bekas barak tampak seram. Jika kita lewat di depan barak, seolah-olah ada orang yang sedang mengamati kita.

"Saat kami datang dan memulai pembangunan komplek, daerah itu seperti hamparan tanah luas, tidak tampak seperti kebun, meski di beberapa sudut terdapat tumpukan sampah dari pepohonan. Di bawah timbunan terkadang kami temukan jenazah yang hanya tinggal tengkorak dan tulangnya saja," Bang Mandor berkisah.

Sebagai informasi, saat proyek dimulai, kejadian Tsunami telah berlalu setengah tahun.

"Ketika kami mulai menggali pondasi dan mengeruk tanah menggunakan alat berat, kami juga menemukan beberapa tengkorak dan tulang manusia yang sudah terkubur. Itu kami temukan di sana (sebelah barat daya komplek), di sana (sebelah selatan), lalu di sebelah sana (sebelah tenggara) (sembari menunjuk ke lokasi yang kini sudah berdiri rumah dinas)," cerita Bang Mandor yang kali ini kami sudah kembali ke komplek berboncengan di sepeda motor. "Atas izin Pak Keuchik (kepala kampung), tengkorak berikut tulang-belulang manusia itu kemudian dipindahkan dan dimakamkan kembali di perkuburan umum kampung," ucap Bang Mandor. 

Asal Muasal Daerah

Menurut penuturan turun temurun dari orang-orang tua kampung, dahulu daerah komplek perumahan dinas berikut kampung di sekitarnya adalah sungai yang bermuara di Selat Malaka di utara. Seiring waktu, sungai ini mengalami pendangkalan dan berubah menjadi daratan. Daerah endapan ini kemudian dijadikan sawah dan orang-orang mulai mendiami daerah sekitar. Jadi-lah nama daerah ini "sawah sungai" jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Cerita Rakyat 

Dahulu, ada seorang gadis cantik anak seorang pejabat Aceh yang tinggal di tenggara komplek perumahan dinas ini. Gadis ini bernama Pocut Siti. Akibat salah pergaulan serta menghindari hukuman orang tua, Pocut Siti beserta pacarnya melarikan diri melalui sungai menumpangi sampan menuju hilir yang bermuara di Selat Malaka. Di tengah perjalanan, sang kekasih mengkhianati Pocut Siti dengan menenggelamkannya di tengah sungai.

Menurut Legenda, Pocut Siti yang tewas dalam keadaan hamil kemudian menjelma menjadi Burong atau kuntilanak dalam Bahasa Aceh. Konon sungai yang menjadi tempat pelarian Pocut Siti dahulu adalah daerah komplek rumah dinas berikut kampung di sekitarnya kini. Lantas itukah penampakan Burong (kuntilanak) Pocut Siti yang melegenda di Aceh Besar. Simak kembali kisah di atas.

 

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun