"Pernah juga terlihat berdiri di teras bekas barak pengungsian di depan," lanjut Bang Mandor. Oh ya, di ujung depan jalan masuk sebelah utara ada barak pengungsian yang tidak lagi ditempati. Barak kosong ini berdiri di sisi lapangan bola kampung di pinggir jalan masuk ke komplek. Diliputi suasana sepi, bekas barak tampak seram. Jika kita lewat di depan barak, seolah-olah ada orang yang sedang mengamati kita.
"Saat kami datang dan memulai pembangunan komplek, daerah itu seperti hamparan tanah luas, tidak tampak seperti kebun, meski di beberapa sudut terdapat tumpukan sampah dari pepohonan. Di bawah timbunan terkadang kami temukan jenazah yang hanya tinggal tengkorak dan tulangnya saja," Bang Mandor berkisah.
Sebagai informasi, saat proyek dimulai, kejadian Tsunami telah berlalu setengah tahun.
"Ketika kami mulai menggali pondasi dan mengeruk tanah menggunakan alat berat, kami juga menemukan beberapa tengkorak dan tulang manusia yang sudah terkubur. Itu kami temukan di sana (sebelah barat daya komplek), di sana (sebelah selatan), lalu di sebelah sana (sebelah tenggara) (sembari menunjuk ke lokasi yang kini sudah berdiri rumah dinas)," cerita Bang Mandor yang kali ini kami sudah kembali ke komplek berboncengan di sepeda motor. "Atas izin Pak Keuchik (kepala kampung), tengkorak berikut tulang-belulang manusia itu kemudian dipindahkan dan dimakamkan kembali di perkuburan umum kampung," ucap Bang Mandor.Â
Asal Muasal Daerah
Menurut penuturan turun temurun dari orang-orang tua kampung, dahulu daerah komplek perumahan dinas berikut kampung di sekitarnya adalah sungai yang bermuara di Selat Malaka di utara. Seiring waktu, sungai ini mengalami pendangkalan dan berubah menjadi daratan. Daerah endapan ini kemudian dijadikan sawah dan orang-orang mulai mendiami daerah sekitar. Jadi-lah nama daerah ini "sawah sungai" jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Cerita RakyatÂ
Dahulu, ada seorang gadis cantik anak seorang pejabat Aceh yang tinggal di tenggara komplek perumahan dinas ini. Gadis ini bernama Pocut Siti. Akibat salah pergaulan serta menghindari hukuman orang tua, Pocut Siti beserta pacarnya melarikan diri melalui sungai menumpangi sampan menuju hilir yang bermuara di Selat Malaka. Di tengah perjalanan, sang kekasih mengkhianati Pocut Siti dengan menenggelamkannya di tengah sungai.
Menurut Legenda, Pocut Siti yang tewas dalam keadaan hamil kemudian menjelma menjadi Burong atau kuntilanak dalam Bahasa Aceh. Konon sungai yang menjadi tempat pelarian Pocut Siti dahulu adalah daerah komplek rumah dinas berikut kampung di sekitarnya kini. Lantas itukah penampakan Burong (kuntilanak) Pocut Siti yang melegenda di Aceh Besar. Simak kembali kisah di atas.
Â
 Â