PT PNK mendapatkan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) selama 30 tahun terhitung sejak 2004 sampai dengan tahun 2034. PT PNK merupakan joint-venture atau perusahaan antara PT Jayatsa Putrindo dan The Nature Conservancy.
Sunspirit For Justice and Peace menjelaskan "Namun setelah 10 tahun beroperasi, perusahaan ini kemudian bubar tanpa ada pertanggung jawaban publik yang jelas. Yang muncul ke publik justru konflik antara perusahaan dan departemen keuangan terkait dana konservasi sejumlah 16 miliar rupiah" (Floresa.co, 5 Agustus 2021).
Sesudah PT PNK bubar, muncul perusahaan baru yang juga mengajukan permohonan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam. Sunspirit For Justice and Peace --Labuan Bajo menyebutkan perusahaan yang masih mengantongi izin investtasi di Taman Nasional Komodo diantaranya: PT Segara Komodo Lestari (SKL) di Pulau Rinca, PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar dan Komodo, PT Synergindo di Pulau Tatawa".Â
 Polemik yang kontradiktif melahirkan gelombang protes publik dan tidak dapat dihindarkan. Menolak investasi (baca: pembangunan) didukung berbagai jenis alasan dan bilamana dirangkum bahwasannya pembangunan di dalam kawasan TNK justru mengganggu prinsip konservasi.Â
Sikap menolak, secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai 'kepedulian' orang-orang akan kelangsungan hidup hewan purba komodo sangatlah tinggi.
Jelas bahwa komodo adalah satu-satunya hewan purba yang tersisa di muka bumi.Â
Tanggung jawab kelestariannya tentu sangat kompleks. Berbicara komodo dan ruang geraknya adalah sesuatu yang serius dan menjadi urgensi tersendiri.Â
Penulis sangat mengapresiasi pihak yang berpikir antagonis sehingga skema pembangunan tidak diterima begitu saja.Â
Suatu kewajiban bagi warga Negara merumuskan masalah yang ada. Lebih jauh lagi, kedua belah pihak (pro-kontra) bukan untuk saling mengintervensi-tapi bersama mencari poros baru walaupun dianggap hal yang mustahil.
Memahami realitas terdasar seperti ini menjadi bahan evaluasi ke depannya. Bagaiamana aktivitas pariwisata dan prinsip konservasi tetap berjalan relatif seimbang.Â
Pada konteks pariwisata yang berbasis lingkungan; norma kepariwisataan Indonesia menyebutkan, kepariwisataan dikembangkan dengan prinsip adanya keseimbangan antara mengambil manfaat dan kewajiban memelihara alam (Ardika, 2018: 24).Â