Setelah Soeharto dengan Orde Baru-nya tumbang, Megawati muncul sebagai sosok paling kuat di jagat politik Indonesia, bersama Amien Rais dan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid).
Sejak itu Megawati menjadi king maker bagi banyak keputusan politik penting di Indonesia, termasuk menjadikan Jokowi sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden RI ke-7.
Megawati selalu menganggap Jokowi sebagai petugas partai yang berprestasi, dan berkontribusi terhadap kenaikkan elektoral partai, khusus di Pemilu 2014 dan 2019. Jokowi pun menikmati sebutan sebagai petugas partai yang loyal.
Keretakan mulai terjadi ketika wacana masa jabatan presiden akan diubah menjadi 3 periode atau penambahan masa jabatan Jokowi selama 3 tahun sampai 2027, mulai berhembus bersamaan dengan isu Amandemen UUD 1945.
Meski tidak pernah terang-terangan menyatakan dukungan, sejumlah kalangan meyakini Jokowi turut mengorkestasi wacana tersebut sehingga terus menggelinding bak bola salju.
Melihat gelagat pihak-pihak yang ingin merusak konstitusi demi ambisi satu-dua orang, Megawati secara tegas menolak. Bagi Megawati, konstitusi sakral karena merupakan pondasi berbangsa dan bernegara.
Gesekan dengan kubu Jokowi pun tak terelakkan. Meski sempat menghadiri deklarasi Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang diusung PDIP, Jokowi tetap meminta barisan relawan dan pendukung untuk tidak kesusu (buru-buru), mengarahkan dukungan.
PDIP (baca: Megawati) mencoba mentolerir sikap Jokowi dengan berbagai alasan. Bahkan ketika akhirnya Jokowi merestui anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto setelah keluar putusan kontroversial di MK, PDIP tetap tidak mau memberi sanksi kepada Jokowi.
Di sinilah ujian sesungguhnya bagi Megawati yan dikenal tegas dalam menegakan aturan partai. Pemecatan terhadap kader-kader populer di masa lalu, termasuk terakhir kepada Budiman Sudjatmiko yang mbalelo terhadap keputusan partai, dilakukan semudah membalikan telapak tangan.
Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Jokowi meski terhadap Gibran, dan juga Bobby Nasution - menantu Jokowi -- tetap diberlakukan aturan partai dengan memaksanya keluar dari kandang banteng.
Pertanyaan kita, mengapa Megawati membiarkan keangkeran hak prerogatifnya "dinodai" oleh kadernya? Bukankah selama ini Megawati tidak pernah pandang bulu dalam menegakkan aturan partai?