Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ini yang Terjadi Jika Koalisi Gemuk Gagal Terwujud

7 Mei 2023   07:32 Diperbarui: 7 Mei 2023   10:08 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya istana menciptakan koalisi besar yang dilakukan secara terbuka akan menjadi catatan sejarah di mana Presiden yang masih menjabat meng-endorse bakal calon penggantinya. Bahkan rapat-rapat politik yang ditengarai untuk mengegolkan wacana tersebut dilakukan di dalam istana.

Pertanyaannya kini, bagaimana jika koalisi besar gagal terwujud?  Hendak ditaruh di mana wajah istana? Sudah melakukan sesuatu yang tidak elok, gagal pula!

Tanda-tanda kegagalan pembentukan koalisi gemuk sudah terbaca sejak awal ketika Partai Golkar mendeklarasikan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PAN dan PPP. Dari beberapa statemen anggota koalisi, publik meyakini KIB dibentuk atas arahan istana. Namun Partai Gerinda serta PKB menolak bergabung dan memilih membentuk Koalisi Indonesia Raya (KIR).

Sementara Partai Nadem yang juga merupakan partai pendukung pemerintah, memilih bergabung dengan dua partai oposisi yakni PKS dan Partai Demokrat membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).

Dalam perkembangannya wacana menyatukan KIB dan KIR berhembus kencang ketika peluang Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk diusung sebagai capres PDIP menipis. Isu koalisi besar sebagai sekoci Ganjar andai tidak dicapreskan PDIP, semakin bergema setelah Presiden Joko Widodo terang-terangan menyatakan dukungannya.

Penjajakan pembentukan koalisi besar, yakni beranggotakan seluruh partai pendukung istana minus Nasdem, terus dimatangkan di tengah berbagai spekulasi terkait komposisi capres dan cawapres yang akan diusung.

Tidak diduga, PDIP mendeklarasikan Ganjar sebagai bakal calon presiden, sehari menjelang hari raya Idul Fitri 2023. Ada dua kemungkinan mengapa PDI tiba-tiba mengambil langkah dramatis dan sama sekali luput dari pengamatan publik.

Pertama, saat itu elektabilitas Ganjar diberitakan melorot setelah secara terbuka menolak kedatangan tim sepakbola Israel yang akan bertanding pada Piala Dunia U21 di Indonrsia. Penolakan tersebut merupakan lebijakan resmi PDIP karena juga disuarakan Gubernur Bali I Wayan Koster yang notabene kader PDIP.

Dalam pidato pengantar pengumuman bakal calon presiden di Istana Batu Tulis , Ketua Umum PDIP Megawati Seokarnoputri pun menyinggung soal elektabilitas Ganjar. Meski heran dan tidak percaya dengan hasil survei, yang disebutnya naik-turun tidak jelas, sementara dirinya paham ilmu statistik, Mega meyakini dengan pengumuman tersebut  elektabilitas Ganjar akan reborn.

Kedua, terlihat ada kekhawatiran dengan kian kencangnya wacana koalisi besar, terutama setelah di-endorse oleh Presiden Jokowi. Jika koalisi besar terbentuk tanpa PDIP, dan kemudian mendeklarasikan Ganjar, maka PDIP akan "ketinggalan kereta". Sesuatu yang tidak diinginkan seperti halnya ketika Ganjar dideklarasikan sebagai bakal calon presiden oleh partai lain.

Meski menjadi satu-satunya partai yang dapat mengusung pasangan capres dan cawapres tanpa berkoalisi, dalam berbagai kesempatan kader-kadernya mengatakan PDIP tidak ingin bergerak sendirian. Faktor Itu yang menjadi alasan utama mengapa Megawati tidak mencapreskan Ketua DPR Puan Maharani karena ditengarai tidak mendapat dukungan partai lain setelah safari politiknya gagal total, sehingga Megawati "terpaksa" mengambil keputusan mendadak.  

Setelah mendeklarasikan Ganjar, Megawati lantas "menagih" Jokowi untuk mendapatkan dukungan koalisi besar. Langkah cepat PPP menyatakan dukungan kepada Ganjar, tidak terlepas dari pusaran ini. Bagaimana pun Plt Ketua Umum PPP Muhamad Mardiono adalah "orang Jokowi".  Selepas menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Mardiono dipercaya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerja Sama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan.

Namun partai-partai lain enggan "didikte" dalam menentukan capres. Hal ini dapat menjelaskan mengapa ada pertemuan partai-partai pendukung pemerintah, minus Nasdem, di istana pasca deklarasi PDIP.  Jika ada yang menyebut pertemuan tersebut bukan untuk membahas politik menuju Pilpres 2024, dengan mudah dapat dipatahkan melalui pernyataan Presiden Jokowi.

Jokowi tegas menyebut Nasdem tidak diundang karena sudah memiliki koalisi sendiri. Koalisi yang dimaksud tentu KPP. Itu artinya pertemuan di istana bukan untuk membahas pembangunan dan arah kebijakan pemerintah. Sebab jika demikian, Nasdem tentu dilibatkan karena statusnya masih sebagai partai pendukung pemerintah. Tetapi karena membahas koalisi besar untuk mendukung Ganjar, Nasdem ditinggal karena sudah memiliki koalisi sendiri yang tidak sejalan dengan keinginan istana.

Sayangnya upaya terakhir Jokowi untuk membangun koalisi besar untuk mendukung Ganjar, tidak terwujud. Buktinya saat ini partai-partai pendukung pemerintah, kecuali PPP, asyik bermanuver dengan mendatangi tokoh dan partai yang dipersepsikan sebagai lawan istana.

Golkar yang kehilangan partner koalisi, mencoba mendekati KPP, selain KIR. Hal ini dilakukan demi mengamankan kepentingannya pasca Pilpres 2024 sehingga muncul penolakan terhadap konsep the winner takes it all.

Lagi pula, andai ikut gabung dalam barisan PDIP, Golkar sudah kehilangan posisi tawar. Beda hal jika bergabung dengan KPP. Golkar masih memiliki kesempatan menawarkan kadernya untuk mendampingi Anies Rasyid Baswedan yang sudah dideklarasikan sebagai bakal calon presiden oleh Nasdem, PKS dan Gerindra.

Golkar juga bisa membangun koalisi baru dengan Gerindra dan PKB. Meski PKB masih ngotot ingin mendapatkan posisi cawapres, Golkar tentu punya cara untuk menawarkan kadernya kepada Prabowo sekaligus meredam ambisi Muhaimin Iskandar.

Kedatangan Airlangga Hartarto dan Muhaimin ke Partai Demokrat, khususnya Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kian menegaskan kegagalan wacana koalisi besar.

Terlebih setelah kunjungan Prabowo, Airlangga hingga Muhaimin kepada Jusuf Kalla (JK). Meski mantan wapres dua kali itu menyebut dirinya tidak dalam kapasitas menentukan capres maupun cawapres karena tidak lagi menjadi pengurus partai, sulit menafikan pengaruhnya dalam menentukan arah politik Indonesia, terutama di tubuh Golkar.

Dari paparan di atas, maka bisa disimpulkan wacana koalisi besar sudah layu sebelum terbentuk. Jika akhirnya Ganjar hanya didukung PDIP dan PPP, atau mungkin ditambah PAN yang sudah "berkirim sinyal", tentu akan menjadi tamparan luar biasa bagi istana.

Sebaliknya, kegagalan pembentukan koalisi besar memberikan angin segar bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat karena tetap menghidupkan peluang munculnya tiga, atau bahkan mungkin empat, pasangan capres dan cawapres di Pilpres 2024.

Sebab kita tidak ingin didikte oleh penguasa dalam memilih pemimpin mendatang.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun