Setelah mendeklarasikan Ganjar, Megawati lantas "menagih" Jokowi untuk mendapatkan dukungan koalisi besar. Langkah cepat PPP menyatakan dukungan kepada Ganjar, tidak terlepas dari pusaran ini. Bagaimana pun Plt Ketua Umum PPP Muhamad Mardiono adalah "orang Jokowi". Â Selepas menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Mardiono dipercaya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerja Sama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan.
Namun partai-partai lain enggan "didikte" dalam menentukan capres. Hal ini dapat menjelaskan mengapa ada pertemuan partai-partai pendukung pemerintah, minus Nasdem, di istana pasca deklarasi PDIP. Â Jika ada yang menyebut pertemuan tersebut bukan untuk membahas politik menuju Pilpres 2024, dengan mudah dapat dipatahkan melalui pernyataan Presiden Jokowi.
Jokowi tegas menyebut Nasdem tidak diundang karena sudah memiliki koalisi sendiri. Koalisi yang dimaksud tentu KPP. Itu artinya pertemuan di istana bukan untuk membahas pembangunan dan arah kebijakan pemerintah. Sebab jika demikian, Nasdem tentu dilibatkan karena statusnya masih sebagai partai pendukung pemerintah. Tetapi karena membahas koalisi besar untuk mendukung Ganjar, Nasdem ditinggal karena sudah memiliki koalisi sendiri yang tidak sejalan dengan keinginan istana.
Sayangnya upaya terakhir Jokowi untuk membangun koalisi besar untuk mendukung Ganjar, tidak terwujud. Buktinya saat ini partai-partai pendukung pemerintah, kecuali PPP, asyik bermanuver dengan mendatangi tokoh dan partai yang dipersepsikan sebagai lawan istana.
Golkar yang kehilangan partner koalisi, mencoba mendekati KPP, selain KIR. Hal ini dilakukan demi mengamankan kepentingannya pasca Pilpres 2024 sehingga muncul penolakan terhadap konsep the winner takes it all.
Lagi pula, andai ikut gabung dalam barisan PDIP, Golkar sudah kehilangan posisi tawar. Beda hal jika bergabung dengan KPP. Golkar masih memiliki kesempatan menawarkan kadernya untuk mendampingi Anies Rasyid Baswedan yang sudah dideklarasikan sebagai bakal calon presiden oleh Nasdem, PKS dan Gerindra.
Golkar juga bisa membangun koalisi baru dengan Gerindra dan PKB. Meski PKB masih ngotot ingin mendapatkan posisi cawapres, Golkar tentu punya cara untuk menawarkan kadernya kepada Prabowo sekaligus meredam ambisi Muhaimin Iskandar.
Kedatangan Airlangga Hartarto dan Muhaimin ke Partai Demokrat, khususnya Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kian menegaskan kegagalan wacana koalisi besar.
Terlebih setelah kunjungan Prabowo, Airlangga hingga Muhaimin kepada Jusuf Kalla (JK). Meski mantan wapres dua kali itu menyebut dirinya tidak dalam kapasitas menentukan capres maupun cawapres karena tidak lagi menjadi pengurus partai, sulit menafikan pengaruhnya dalam menentukan arah politik Indonesia, terutama di tubuh Golkar.
Dari paparan di atas, maka bisa disimpulkan wacana koalisi besar sudah layu sebelum terbentuk. Jika akhirnya Ganjar hanya didukung PDIP dan PPP, atau mungkin ditambah PAN yang sudah "berkirim sinyal", tentu akan menjadi tamparan luar biasa bagi istana.
Sebaliknya, kegagalan pembentukan koalisi besar memberikan angin segar bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat karena tetap menghidupkan peluang munculnya tiga, atau bahkan mungkin empat, pasangan capres dan cawapres di Pilpres 2024.