Contohnya dalam program revitalisasi Sungai Ciliwung. Pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan dalam hal penentuan model yang diambil. Sah-sah saja di tingkat pelaksanaan ada gubernur yang suka ketika Kali Ciliwung dibeton, ada yang memilih cara lain.
Sangat naif ketika hanya karena beda pelaksanaan dalam sebuah kegiatan, lantas diposisikan sebagai oposan. Padahal dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017 Anies diusung oleh Partai Gerindra yang kini menjadi bagian dari pemerintah.
Jangan-jangan asumsi oposisi itu hanya karena Anies tidak diusung dan didukung oleh PDIP dan kelompoknya. Jika benar begitu, berati pengertian oposisi harus diubah.
Kembali ke topik bahasan apakah kursi NasDem di kabinet akan dieliminasi. Â Jika melihat uraian di atas, maka tidak ada alasan bagi Presiden Jokowi untuk melakukan hal itu.
Sekali pun merupakan hak prerogatif, dalam beberapa hal Presiden Jokowi hanya menerima nama calon anggota kabinetnya yang disodorkan partai pendukung dan sampai saat ini NasDem masih menjadi partai pendukung pemerintah.
Beda hal jika kemudian NasDem "diusir" dari koalisi pemerintah. Tetapi untuk sampai ke sana, kalkulasi politiknya tentu tidak sebatas dukung-mendukung capres 2024. Masih banyak kebijakan Jokowi yang membutuhkan suara NasDem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H