Keberanian Partai Nasional Demokrat (NasDem) mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden (capres) menimbulkan tanya terkait keberlangsungannya dalam koalisi pendukung pemerintah. Benarkah Presiden Joko Widodo akan mereshuffle menteri asal Nasdem?
Sebelum membahasnya, ada baiknya kita pahami dulu arti koalisi. Menurut KBBI Online koalisi berarti kerjasama antara beberapa partai untuk mendapatkan kelebihan suara dalam parlemen.
Perlu ditambahkan di sini, bahwa koalisi juga didasari oleh tujuan (politik) yang sama.dalam jangka waktu tertentu.
Tidak mungkin terjalin koalisi antara dua atau lebih parpol manakala saling berseberangan secara tujuan. Perbedaan ideologi bahkan dapat dipinggirkan manakala ada tujuan yang sama semisal memenangkan kontestasi elektoral.
Sebagai contoh, PDIP dan PKS secara ideologi berseberangan, meski sama-sama dalam koridor Pancasila. Fakta menunjukkan dalam beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) kedua partai ini berkoalisi untuk mengusung dan memenangkan calon kepala daerah. Â
Dalam perspektif koalisi adalah kerjasama, maka hal itu juga bisa hanya untuk satu isu, tidak terbatas pada kontestasi elektoral. Bisa juga misalnya dalam pembahasan undang-undang di DPR yang membutuhkan voting karena adanya pro-kontra.
Partai, sebagai induk anggota DPR, kemudian mengambilalih dalam hal memutuskan kebijakan terkait undang-undang tersebut yang kemudian wajib dipatuhi kadernya di DPR. Pada tingkatan ini bisa saja terjadi koalisi antara beberapa partai yang dalam frame besar berseberengan.
Contoh dari model kerjasama atau koalisi temporer ini adalah dalam pembahasan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Di awal-awal pembahasan, Partai Golkar, PPP dan PKB, yang notabene partai koalisi pemerintah justru bergabung dengan PKS menolak UU RUU TPKS karena ada pasal-pasal yang masih kontroversial.
Sebaliknya, Partai Demokrat yang berada di luar istana, mendukung partai-partai pemerintah bersama PDIP, Gerindra dan NasDem.
Antar partai itu kemudian melakukan lobi dan kerjasama di luar parlemen. Akhirnya voting tidak lagi dilakukan di DPR. Semua partai mendukung dan mengesahkan RUU TPKS menjadi UU Nomor 12 Tahun 2022 meski ada fraksi yang menyertakan beberapa catatan.
Setelah selesai pembahasan RUU TPKS dan tujuan tercapai, kerjasama pun bubar dengan sendirinya. Hal ini karena koalisi memiliki durasi atau batasan waktu.
Koalisi pemerintah saat ini berumur sampai akhir masa pemerintah Presiden Jokowi dan KH Ma;ruf Amin yakni tahun 20 Oktober 2024.
Dengan demikian, memaksa agar koalisi pemerintah saat ini mengusung calon presiden periode 2024-2029 sesuai dengan instruksi siapa pun, baik presiden maupun partai anggota koalisi, jelas menyalahi pengertian tentang koalisi.
Kedua, koalisi pendukung pemerintah memiliki kewajiban hanya untuk mengamankan kebijakan-kebijakan pemerintahan saat ini. itu artinya menentukan capres mendatang jelas menjadi wilayah otonom masing-masing partai, bukan bagian dari kesepakatan koalisi.
Ketiga, keberadaan menteri dari partai adalah buah dari politik bagi-bagi kekuasaan. Dalam konteks ini, partai yang telah berkeringat, mengusung maupun hanya mendukung seperti PAN, berhak mendapat jatah kursi kabinet.
Tiga menteri dari NasDem di kabinet Jokowi-Ma'ruf yakni Menteri Komunikasi dan Informatika  Johnny G Plate, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, serta Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar, juga merupakan imbal jasa karena NasDem telah memberikan perahu untuk mengusung n Jokowi-Maruf di tahun 2019.
Menjadi tidak elok jika keberadaan kursi menteri tersebut diganggu-gugat hanya karena NasDem mendeklarasikan capres yang mungkin tidak sesuai keinginan presiden atau anggota partai koalisi lainnya.
Keempat, sejak kapan Anies menjadi oposisi pemerintah? Ini sangat rancu. Sebab sesuai UU Pemerintahan Daerah, gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Karena Indonesia menganut sistem presidensial, maka pemerintah di sini juga berarti presiden.
Dengan bahasa lain, gubernur adalah pembantu presiden di daerah. Â Itu sebabnya, kebijakan yang diambil gubernur tidak boleh bertentangan dengan kebijakan presiden.
Lalu kebijakan Anies manakah yang bertentangan dengan presiden sehingga kemudian dipersepsikan sebagai oposisi? Bahwa dalam tataran pelaksaan berbeda, harus diingat, gubernur juga memiliki hak diskresi.
Contohnya dalam program revitalisasi Sungai Ciliwung. Pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan dalam hal penentuan model yang diambil. Sah-sah saja di tingkat pelaksanaan ada gubernur yang suka ketika Kali Ciliwung dibeton, ada yang memilih cara lain.
Sangat naif ketika hanya karena beda pelaksanaan dalam sebuah kegiatan, lantas diposisikan sebagai oposan. Padahal dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017 Anies diusung oleh Partai Gerindra yang kini menjadi bagian dari pemerintah.
Jangan-jangan asumsi oposisi itu hanya karena Anies tidak diusung dan didukung oleh PDIP dan kelompoknya. Jika benar begitu, berati pengertian oposisi harus diubah.
Kembali ke topik bahasan apakah kursi NasDem di kabinet akan dieliminasi. Â Jika melihat uraian di atas, maka tidak ada alasan bagi Presiden Jokowi untuk melakukan hal itu.
Sekali pun merupakan hak prerogatif, dalam beberapa hal Presiden Jokowi hanya menerima nama calon anggota kabinetnya yang disodorkan partai pendukung dan sampai saat ini NasDem masih menjadi partai pendukung pemerintah.
Beda hal jika kemudian NasDem "diusir" dari koalisi pemerintah. Tetapi untuk sampai ke sana, kalkulasi politiknya tentu tidak sebatas dukung-mendukung capres 2024. Masih banyak kebijakan Jokowi yang membutuhkan suara NasDem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H