Setelah mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden (capres), Partai Nasional Demokrat (NasDem) mendapat pil pahit dengan mundurnya sejumlah kader dan pengurus di daerah. Alasannya mereka tidak setuju dengan keputusan partai.
Padahal sebelum keluarnya keputusan mengusung Anies, NasDem telah melakukan serangkaian proses penjaringan dari bawah. Terakhir para pengurus daerah diundang dalam rapat kerja nasional (Rakernas), Juni 2022, di JCC Senayan, Jakarta.
Saat itu ada 32 dari 34 DPW NasDem yang menjagokan Anies. Artinya hanya 2 DPW yang tidak mengusulkan Anies, yakni dari Papua Barat dan Kalimantan Timur.
Sementara pesaing terdekatnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memperoleh dukungan dari 29 DPW dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa memperoleh suara dari 13 DPW.
Hasil itu kemudian diserahkan kepada Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh untuk dipilih sebagai kandidat presiden pilihan partai yang terkenal dengan slogan restorasi itu.
Dengan demikian, siapa pun yang dipilih Surya Paloh akan menimbulkan gejolak dan penolakan karena masing-masing memiliki pendukung.
Andai pun dipilih Andika, tentu juga timbul gejolak dari kader yang mendukung Anies maupun Ganjar. Terlebih jika memilih di luar 3 nama hasil Rakernas.
Hal itu sebenarnya telah disadari oleh Surya Paloh. Dalam pidato deklarasi Anies, 3 Oktober kemarin, bos Media Group itu mengatakan keputusannya bukan hanya kaan mendapat sanjungan, namun juga syirik, fitnah dan khianat.
Apa yang sedang terjadi pada NasDem sebenarnya dinamika politik yang sangat lumrah dan pernah dialami oleh semua partai politik.
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, PDI Perjuangan, termasuk Partai Golkar, adalah partai yang paling sering mengalami tsunami mundurnya kader-kader terbaik karena tidak puas dengan keputusan partai.
Tsunami pertama dialami PDIP pasca Pemilu 1999 yang dimenangkanya. Saat itu PDIP kebanjiran anggota baru. Bukan main-main, sejumlah tokoh gerot dan tajir masuk ke kandang banteng dengan membawa tujuan masing-masing.
Untuk mengakomodir masuknya kader-kader baru, PDIP "membuang" pengurus lama yang "lusuh" dan hanya bermodal "semangat".
Akibatnya, terjadi kericuhan saat pemilihan pengurus di berbagai daerah. Banyak kader-kader PDIP yang kemudian hengkang karena pengurus pusat lebih berpihak pada kader baru.
Eros Djarot ada dalam barisan ini, yang kemudian mendirikan Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK).
Tsunami kedua ketika tokoh-tokoh sekelas Sukowaluyo Mintohardjo, Laksamana Sukardi, dan Roy BB Janis mundur secara serentak menjelang menjelang Kongres PDIP di Bali tahun 2005.
Mereka menolak calon tunggal dan adanya hak prerogatif ketua umum untuk menentukan calon kepala daerah dan capres.
Mereka kemudian mendirikan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP). Belakangan Sophan Sophiaan yang saat itu Ketua Fraksi PDIP di DPR, hengkang dan bergabung dengan PDP.
Dimyati Hartono mengikuti jejak Sophan Sophiaan dengan mundur dari DPR dan pengurus pusat PDIP. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Semarang itu mundur tahun 2002 dan langsung mendirikan Partai Indonesia Tanah Air (PITA).
Di Jawa Tengah juga sempat terjadi friksi menjelang Pilkada 2013 karena Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri lebih memilih Ganjar sebagai calon gubernur dibanding Rustriningsih yang kala itu menjabat wakil gubernur Jawa Tengah dan mantan bupati Kebumen 2 periode.
Jangan bandingkan elektabilitas Ganjar dengan Rustriningsih. Dalam beberapa survei elektabilitas Ganjar hanya 13 persen, sedang Rustriningsih konsisten di atas 30 persen. Rustriningsih sempat ngambek dan "mengancam" mendukung calon dari partai lain.
Terhadap semua gejolak tersebut, sikap Megawati sangat tegas. Dalam berbagai kesempatan, dengan gaya khasnya, mengacungkan telunjuk tangan kanan seperti bapaknya, Presiden RI Pertama Ir Soekarno ketika mengatakan "go to hell with your aid" kepada Amerika Serikat dan sekutunya, Â Megawati mempersilakan kader yang sudah tidak sejalan untuk keluar.
Bahkan Megawati langsung memecat kader yang dianggap mbalelo sebelum mereka resmi mundur seperti yang dilakukan terhadap Roy BB Janis, dkk, serta Rustriningsih.
Pada titik ini, Surya Paloh perlu belajar pada Megawati. Mungkin bagi sebagian kalangan, terutama eksternal, Megawati dicap otoriter dalam memimpin partai. Tetapi sejarah membuktikan, PDIP di tangan Megawati mampu keluar dari tsunami dan sudah 3 kali memenangi Pemilu yakni 1999, 2014 dan 2019.
Fakta juga menunjukkan, semua tokoh yang hengkang atau dipecat dari PDIP gagal bersinar setelah berada di luar. Partai yang mereka dirikan tidak pernah sampai Senayan. Bahkan elektabilitas Ganjar di Jawa Tengah sudah sangat jauh meninggalkan Rustriningsih.
Surya Paloh harus bisa memanfaatkan momentum deklarasi Anies untuk membangkitkan soliditas dan militansi, sekaligus menguji loyalitas kader-kadernya. Jangan pernah memberi tempat pada kader yang hanya "menumpang hidup", yang hanya menjadikan partai sebagai kendaraan politik dan ambisi pribadinya.
Partai adalah organisasi yang harus dinakhodai oleh 1 orang agar tetap dapat melaju di tengah samudera luas yang penuh badai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H