Tsunami pertama dialami PDIP pasca Pemilu 1999 yang dimenangkanya. Saat itu PDIP kebanjiran anggota baru. Bukan main-main, sejumlah tokoh gerot dan tajir masuk ke kandang banteng dengan membawa tujuan masing-masing.
Untuk mengakomodir masuknya kader-kader baru, PDIP "membuang" pengurus lama yang "lusuh" dan hanya bermodal "semangat".
Akibatnya, terjadi kericuhan saat pemilihan pengurus di berbagai daerah. Banyak kader-kader PDIP yang kemudian hengkang karena pengurus pusat lebih berpihak pada kader baru.
Eros Djarot ada dalam barisan ini, yang kemudian mendirikan Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK).
Tsunami kedua ketika tokoh-tokoh sekelas Sukowaluyo Mintohardjo, Laksamana Sukardi, dan Roy BB Janis mundur secara serentak menjelang menjelang Kongres PDIP di Bali tahun 2005.
Mereka menolak calon tunggal dan adanya hak prerogatif ketua umum untuk menentukan calon kepala daerah dan capres.
Mereka kemudian mendirikan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP). Belakangan Sophan Sophiaan yang saat itu Ketua Fraksi PDIP di DPR, hengkang dan bergabung dengan PDP.
Dimyati Hartono mengikuti jejak Sophan Sophiaan dengan mundur dari DPR dan pengurus pusat PDIP. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Semarang itu mundur tahun 2002 dan langsung mendirikan Partai Indonesia Tanah Air (PITA).
Di Jawa Tengah juga sempat terjadi friksi menjelang Pilkada 2013 karena Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri lebih memilih Ganjar sebagai calon gubernur dibanding Rustriningsih yang kala itu menjabat wakil gubernur Jawa Tengah dan mantan bupati Kebumen 2 periode.
Jangan bandingkan elektabilitas Ganjar dengan Rustriningsih. Dalam beberapa survei elektabilitas Ganjar hanya 13 persen, sedang Rustriningsih konsisten di atas 30 persen. Rustriningsih sempat ngambek dan "mengancam" mendukung calon dari partai lain.