Konon beberapa punggawanya pernah dijadikan saksi ketika ada tulisan di Kompasiana yang bermasalah. Aku pernah mendengar Mas Nurulloh "mengeluh" soal ini.
Dari konteks itu, aku sepandapat dan setuju dengan moderasi Kompasiana. Aku pun akan menyangkal moderasi mematikan demokrasi. Tidak, kawan! Demokrasi adalah juga berarti keteraturan dan kepatuhan pada aturan. Tidak ada gunanya demokrasi jika diartikan sebagai kebebasan untuk menghujat dan mencaci-caci. Â Â
Namun Admin juga perlu memperbanyak juru bedah tulisan agar moderasi tidak terlalu lama sehingga tulisan tidak "dingin". Jangan disamakan dengan tulisan yang kita kirim ke media online (opini atau pun feature) yang memberlakukan moderasi tanpa batas waktu. Sebab  jati diri Kompasiana berbeda dengan media online, semisal kompas.com
Admin platform UGC juga harus otoriter. Itu pendapatku. Â Otoriter di sini adalah tegas dan bekerja sesuai SOP dan S&K yang telah diberlakukan. Â Bagi yang melanggar coret dan yang tidak melanggar harus lolos tanpa harus "disesuaikan" lagi dengan mood, apalagi preferensi politik, Admin.
Fairplay -- meminjam istilah olahraga, yang sudah diterapkan selama ini harus dipastikan tetap terjaga dengan baik. Aku termasuk yang bersaksi selama ini Kompasiana  cukup fair dalam memberikan penilaian terhadap tulisan Kompasianer.
Sebab secara umum, mayoritas tulisanku berbeda dengan arus utama yang ada di Kompasiana, sering  berbeda sudut pandang terkait topik-topik politik, tidak berteman (baik) dengan salah satu Admin, bahkan kerap marah-marah ngga jelas.
Tetapi tulisanku tetap diberi tempat, akunnya tidak pernah di-banned, dan tetap mendapat Gopay (kala perolehan view bulanan memenuhi ambang batas minimal) meski sekarang tulisanku tidak pernah jadi headline (protes, mumpung ada kesempatan!).
Lalu bagaimana dengan penghargaan Kompasiana terhadap user bercentang biru? Jika pangkat dan peringkat didapat dari keaktifan sehingga semua pengguna bisa meraihnya, tidak demikian halnya dengan centang dan award tahunan.
Bukan bermaksud menciptakan kasta, mengistimewakan para dewa, tetapi  akan menjadi fair dan juga motivasi pengguna lain manakala ada sedikit "keistimewaan" bagi para pemiliknya. Misalnya, meski tetap melalui meja bedah Admin, namun tulisan yang lolos otomatis mendapat label Pilihan seperti sebelumnya.
Hargailah sedikit Kompasianer yang telah susah payah berkarya dengan baik, mematuhi SOP, hingga kemudian diberi award. Jangan dipaksa untuk bersaing dengan pengguna baru demi satu tempat Pilihan. Di dalam negeri yang demokratis, tetap ada loh pengistimewaan terhadap warga tertentu. Bukankah para pemegang penghargaan negara, diberi tempat di taman makam pahlawan sementara warga lain tidak mendapatkan keistimewaan itu?
Demikian kesaksianku dan jawaban atas pertanyaan beberapa teman terkait kebijakan moderasi Kompasiana. Namun jika ternyata moderasi tidak sanggup menciptakan "rumah yang sehat" yang kita cita-citakan bersama, aku akan mencabut kesaksian ini.