Ketiga, membunuh demokrasi. Wah, ini menarik sekaligus mengerikan. Moso demokrasi mati hanya gegara kebijakan moderasi Kompasiana. Tapi ups, jangan tertawa dulu. Baca penjabarannya di bawah.
Keempat, tidak menghargai jasa-jasa senior yang telah turut berjibaku "membesarkan" Kompasiana. Bayangkan, penulis yang sudah sangat dikenal karyanya, bahkan sudah mendapat award, masih harus menjalani "bedah tulisan" di meja Admin yang mungkin baru bergabung beberapa tahun.
Kelima. Apa gunanya pangkat, peringkat, label, dll? Bukankah "tanda-tanda kehormatan" itu tidak tersemat begitu saja, melainkan melalui proses yang (biar terkesan sangar) berdarah-darah?
Demikianlah kira-kira keluhan yang aku tangkap dan sekarang izinkan aku berpendapat.
Kehadiran media-media berbasis publik -- kerennya  platform user generated content (UGC) -- ikut menandai lahirnya (kembali) demokrasi di negeri ini dari sudut kebebasan berekspresi dan berpendapat penduduk internet (nitizen).
Posisinya setara -- bahkan lebih -- dari media sosial. Dikatakan lebih karena, salah satunya, isinya bukan sekedar status mak jelas melainkan ada aturan baku (utamanya menyangkut isi dan jumlah kata).
Di sisi lain, sejak setahun terakhir, atau mungkin lebih karena tidak ada pengumuman resmi, aku menangkap Kompasiana tengah melakukan tranformasi konten dengan tujuan memperluas segmen pengguna. Hal itu dapat dilihat dari artikel-artikel yang dijadikan headline, juga Tren Pekan Ini.
Dengan bahasa lain, Kompasiana sedang berusaha melepas diri dari anggapan media politik yang berat dengan cara menghadirkan tulisan-tulisan "ringan". Lihatlah headline dan Tren Pekan Ini  yang didominasi ulasan game dan tulisan human interest.  Â
Dari sini menjadi wajar jika tulisan politik mendapat sorotan lebih dalam dan pisau bedah yang lebih tajam sehingga memerlukan waktu moderasi lebih lama dan dampaknya menjadi basi kala ditayangkan.
Sebab bukan rahasia lagi (aku pernah beberapa kali protes), banyak tulisan yang ingin disebut sebagai artikel opini namun ditulis bak status medsos karena abai terhadap  hukum dasar sebuah tulisan atau artikel opini.
Belum lagi penggunaan bahasa yang semau gue, penuh kebencian dan hujatan terselubung. Jika di medsos di mana pemilik atau pengurusnya melepas tanggung jawab sepenuhnya terhadap status yang dibuat pengguna (ingat, pemilik atau pengurus medsos belum pernah ada yang diperiksa terkait tulisan bermasalah di platformnya), tidak demikian halnya dengan platform berbasis UGC seperti Kompasiana.