Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Transformasi Kompasiana, Demi Apa dan untuk Siapa?

26 Maret 2021   13:32 Diperbarui: 27 Maret 2021   07:43 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Kompasiana. Sumber: kompasiana.com

Hari-hari belakangan ini Kompasianer -- sebutan untuk pengguna platform publik Kompasiana, banyak yang misuh-misuh akibat kebijakan moderasi terhadap konten (tulisan) yang diberlakukan Admin. Aku termasuk yang sempat terkejut, namun tidak sampai senewen.

Ya, kebijakan moderasi cukup mengejutkan setelah puluhan tahun terbiasa dengan posting langsung tayang. Secara garis besar ada 5 keluhan yang aku tangkap dari Kompasianer meski tidak menjamin sudah mewakili semua grundelan di belakang.

Pertama, tulisan menjadi basi. Keluhan ini terkait para penulis yang biasa dikejar "deadline" dengan beragam alasan, utamanya terkait isu yang sedang trending di internet. Contohnya, aku menulis hasil paripurna DPR yang sedang menjadi topik bahasan utama di media online dan medsos.

Dengan semangat 45, aku menulis ulasan dari sudut pandanganku sebagai perwujudan hak menyatakan pendapat di muka umum yang dijamin konstitusi, lalu mengunggah ke Kompasiana. Blas...tulisan dibawa ke meja bedah Admin disertai notifikasi seperti tangkap layar di bawah.

Tangkap layar notifikasi Kompasiana. dokpri
Tangkap layar notifikasi Kompasiana. dokpri

Sekitar 1 jam 40 menit kemudian, datang lagi notif yang mengabarkan (intinya) tulisan telah lolos sensor dan sudah tayang.

Bayangkan, ada selang waktu selama itu- konon ada yang lebih lama- untuk menunggu kepastian apakah tulisan kita lolos moderasi atau tidak. Hati berdebar-debar, perasaan berkecamuk, pikiran pun mulai konslet.    

Kedua, otoriter. Admin dianggap sewenang-wenang dan otoriter dalam memoderasi. Faktor subjektif Admin dianggap lebih dominan sehingga merugikan tulisan-tulisan yang tidak sesuai "selera" Admin yang bertugas saat tulisan diunggah.

"Bayangkan, tulisanku dinilai oleh Admin yang belum tentu paham politik," cercau sahabat baikku melalui WhatsApp.

"Nanti aku ulas," jawabku karena tidak ingin gibah di WA. Tulisan ini adalah pemenuhan janjiku pada sahabat baik dan mudah-mudah juga berguna untuk Kompasianer yang sedang galau, pun Admin berkenan sehingga tulisan ini lolos moderasi.  

Ketiga, membunuh demokrasi. Wah, ini menarik sekaligus mengerikan. Moso demokrasi mati hanya gegara kebijakan moderasi Kompasiana. Tapi ups, jangan tertawa dulu. Baca penjabarannya di bawah.

Keempat, tidak menghargai jasa-jasa senior yang telah turut berjibaku "membesarkan" Kompasiana. Bayangkan, penulis yang sudah sangat dikenal karyanya, bahkan sudah mendapat award, masih harus menjalani "bedah tulisan" di meja Admin yang mungkin baru bergabung beberapa tahun.

Kelima. Apa gunanya pangkat, peringkat, label, dll? Bukankah "tanda-tanda kehormatan" itu tidak tersemat begitu saja, melainkan melalui proses yang (biar terkesan sangar) berdarah-darah?

Demikianlah kira-kira keluhan yang aku tangkap dan sekarang izinkan aku berpendapat.

Kehadiran media-media berbasis publik -- kerennya  platform user generated content (UGC) -- ikut menandai lahirnya (kembali) demokrasi di negeri ini dari sudut kebebasan berekspresi dan berpendapat penduduk internet (nitizen).

Posisinya setara -- bahkan lebih -- dari media sosial. Dikatakan lebih karena, salah satunya, isinya bukan sekedar status mak jelas melainkan ada aturan baku (utamanya menyangkut isi dan jumlah kata).

Di sisi lain, sejak setahun terakhir, atau mungkin lebih karena tidak ada pengumuman resmi, aku menangkap Kompasiana tengah melakukan tranformasi konten dengan tujuan memperluas segmen pengguna. Hal itu dapat dilihat dari artikel-artikel yang dijadikan headline, juga Tren Pekan Ini.

Dengan bahasa lain, Kompasiana sedang berusaha melepas diri dari anggapan media politik yang berat dengan cara menghadirkan tulisan-tulisan "ringan". Lihatlah headline dan Tren Pekan Ini  yang didominasi ulasan game dan tulisan human interest.   

Dari sini menjadi wajar jika tulisan politik mendapat sorotan lebih dalam dan pisau bedah yang lebih tajam sehingga memerlukan waktu moderasi lebih lama dan dampaknya menjadi basi kala ditayangkan.

Sebab bukan rahasia lagi (aku pernah beberapa kali protes), banyak tulisan yang ingin disebut sebagai artikel opini namun ditulis bak status medsos karena abai terhadap  hukum dasar sebuah tulisan atau artikel opini.

Belum lagi penggunaan bahasa yang semau gue, penuh kebencian dan hujatan terselubung. Jika di medsos di mana pemilik atau pengurusnya melepas tanggung jawab sepenuhnya terhadap status yang dibuat pengguna (ingat, pemilik atau pengurus medsos belum pernah ada yang diperiksa terkait tulisan bermasalah di platformnya), tidak demikian halnya dengan platform berbasis UGC seperti Kompasiana.

Konon beberapa punggawanya pernah dijadikan saksi ketika ada tulisan di Kompasiana yang bermasalah. Aku pernah mendengar Mas Nurulloh "mengeluh" soal ini.

Dari konteks itu, aku sepandapat dan setuju dengan moderasi Kompasiana. Aku pun akan menyangkal moderasi mematikan demokrasi. Tidak, kawan! Demokrasi adalah juga berarti keteraturan dan kepatuhan pada aturan. Tidak ada gunanya demokrasi jika diartikan sebagai kebebasan untuk menghujat dan mencaci-caci.   

Namun Admin juga perlu memperbanyak juru bedah tulisan agar moderasi tidak terlalu lama sehingga tulisan tidak "dingin". Jangan disamakan dengan tulisan yang kita kirim ke media online (opini atau pun feature) yang memberlakukan moderasi tanpa batas waktu. Sebab  jati diri Kompasiana berbeda dengan media online, semisal kompas.com

Admin platform UGC juga harus otoriter. Itu pendapatku.  Otoriter di sini adalah tegas dan bekerja sesuai SOP dan S&K yang telah diberlakukan.  Bagi yang melanggar coret dan yang tidak melanggar harus lolos tanpa harus "disesuaikan" lagi dengan mood, apalagi preferensi politik, Admin.

Fairplay -- meminjam istilah olahraga, yang sudah diterapkan selama ini harus dipastikan tetap terjaga dengan baik. Aku termasuk yang bersaksi selama ini Kompasiana  cukup fair dalam memberikan penilaian terhadap tulisan Kompasianer.

Sebab secara umum, mayoritas tulisanku berbeda dengan arus utama yang ada di Kompasiana, sering  berbeda sudut pandang terkait topik-topik politik, tidak berteman (baik) dengan salah satu Admin, bahkan kerap marah-marah ngga jelas.

Tetapi tulisanku tetap diberi tempat, akunnya tidak pernah di-banned, dan tetap mendapat Gopay (kala perolehan view bulanan memenuhi ambang batas minimal) meski sekarang tulisanku tidak pernah jadi headline (protes, mumpung ada kesempatan!).

Lalu bagaimana dengan penghargaan Kompasiana terhadap user bercentang biru? Jika pangkat dan peringkat didapat dari keaktifan sehingga semua pengguna bisa meraihnya, tidak demikian halnya dengan centang dan award tahunan.

Bukan bermaksud menciptakan kasta, mengistimewakan para dewa, tetapi  akan menjadi fair dan juga motivasi pengguna lain manakala ada sedikit "keistimewaan" bagi para pemiliknya. Misalnya, meski tetap melalui meja bedah Admin, namun tulisan yang lolos otomatis mendapat label Pilihan seperti sebelumnya.

Hargailah sedikit Kompasianer yang telah susah payah berkarya dengan baik, mematuhi SOP, hingga kemudian diberi award. Jangan dipaksa untuk bersaing dengan pengguna baru demi satu tempat Pilihan. Di dalam negeri yang demokratis, tetap ada loh pengistimewaan terhadap warga tertentu. Bukankah para pemegang penghargaan negara, diberi tempat di taman makam pahlawan sementara warga lain tidak mendapatkan keistimewaan itu?

Demikian kesaksianku dan jawaban atas pertanyaan beberapa teman terkait kebijakan moderasi Kompasiana. Namun jika ternyata moderasi tidak sanggup menciptakan "rumah yang sehat" yang kita cita-citakan bersama, aku akan mencabut kesaksian ini.

Salam @yb 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun