Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tafsir "Bu Mega Kecolongan" yang Dilontarkan SBY

18 Februari 2021   12:03 Diperbarui: 19 Februari 2021   10:16 2138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susilo Bambang Yudhoyono menyalami Megawati Soekarnoputri. Foto: Antara melalui kompas.com

Mantan Ketua DPR Marzuki Alie membuka percakapan pribadi dengan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  menjelang Pilpres 2004. Balas dendam karena namanya dikaitkan dengan rencana kudeta terhadap Partai Demokrat?    

Menurut Marzuki, SBY mengatakan (dikutip utuh dari kompas.com), "Pak Marzuki, saya akan berpasangan dengan Pak JK. Ini Bu Mega akan kecolongan dua kali ini. Kecolongan pertama dia yang pindah. Kecolongan kedua dia ambil Pak JK".

Sebelum menafsirkan makna ucapan SBY, ada baiknya kita mengingat kembali perseteruan SBY dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Setelah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilengserkan oleh MPR pimpinan Amien Rais pada tanggal 23 Juli 2001, Wakil Presiden Megawati dilantik menjadi presiden.

SBY yang mundur dari kabinet karena tidak setuju dengan Dekrit Presiden yang dikeluarkan Gus Dur, diangkat oleh Megawati sebagai Menko Polhukam.  Pengangkatan SBY cukup mendapat perhatian karena Kassospol ABRI di era orde baru ini menantu Sarwo Edhie Wibowo, tangan kanan Soeharto saat menumpas PKI yang berujung pelengseran Presiden RI I Soekarno, yang notabene ayah Megawati.

Gesekan diawali saat Megawati mencurigai gerakan politik SBY pasca deklarasi Partai Demokrat tahun  2002. Megawati curiga SBY akan menjadi pesaingnya di Pilpres 2004 yang akan digelar secara langsung untuk pertama kalinya.

Megawati konon sempat bertanya apakah SBY akan maju di Pilpres 2004. Namun SBY tidak menjawab secara tegas. Kepada media, SBY pun tidak terus-terang mengatakan dirinya yang membidani lahirnya Partai Demokrat.

Menjelang Pemilu 2004 di mana Partai Demokrat sebagai salah satu kontestan, hubungan Megawati dan SBY semakin panas. SBY mulai tidak diikutkan dalam rapat kabinet. SBY lalu mengirim surat permohonan untuk menghadap, yang tidak pernah dibalas oleh Megawati.

Di saat itulah tepatnya tanggal 2 Maret 2004, Taufik Kiemas- suami Megawati, mengeluarkan pernyataan kontroversial yang akhirnya melambungkan nama SBY. Menurut Taufik, mestinya SBY langsung datang ke Presiden menanyakan mengapa dirinya tidak diajak rapat kabinet.

"Bukan ngomong di koran seperti anak kecil. Masa jenderal bintang empat takut ngomong sama presiden," kata Taufik.

Artikel lain: Komcad, Ancaman Nyata di Ranah Sipil? 

Drama panjang terkait posisinya di kabinet berakhir setelah pada tanggal 11 Maret 2004 SBY mengundurkan diri. Saat itu telah memasuki masa kampanye Pemilu 2004 dan SBY langsung aktif di Partai Demokrat.

Meski baru, Partai Demokrat mendulang suara cukup signifikan yakni 7,45 persen. Di sisi lain perolehan suara PDIP yang memenangi Pemilu 1999, anjlok. PDIP hanya meraih 18,53 persen suara, di bawah Partai Golkar yang tampil sebagai jawara.

Tidak lama setelah itu, SBY mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dengan menggandeng Jusuf Kalla. Puncaknya, pada putaran kedua Pilpres 2004, Megawati berhadapan langsung dengan SBY. Hasilnya, Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi kalah telak. Bahkan perolehan suaranya tidak sampai 40 persen.

Di Pilpres 2009, Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto kembali dipecundangi SBY yang berpasangan dengan Boediono. Perolehan suaranya juga melorot dibanding Pilpres 2004, yakni hanya 26,79 persen, di atas pasangan Jusuf Kalla - Wiranto (12,41 persen), namun jauh di bawah SBY-Boediono (60,80 persen).

Sejak 2004 hingga sekarang Megawati dan SBY tidak pernah akur, meski sempat beberapa kali bertemu. Pada Pilpres 2019, Partai Demokrat sempat diwacanakan mendukung Presiden Joko Widodo. Namun akhirnya kandas dan menurut SBY karena terganjal hubungan dirinya dengan Megawati.

Kecolongan Dua Kali
Pernyataan Mega kecolomngan dua kali, yang dibeber Marzuki Alie, diucapkan SBY menjelang Pilpres 2004. Marzuki menafsirkan, kecolongan pertama saat SBY pindah. Mungkin yang dimaksud Marzuki, ketika SBY keluar dari kabinet dan secara resmi masuk ke Partai Demokrat.

Kecolongan kedua, masih menurut Marzuki, saat dia ambil Pak JK. Artinya saat SBY menggandeng JK untuk menghadapi Megawati di Pilpres 2004.

Jika begitu tafsirnya, maka sebenarnya tidak ada yang kecolongan. Sejak awal Megawati sudah mengetahui gelagat SBY. Bahkan Megawati pernah menanyakan langsung apakah SBY akan maju di Pilpres 2004. Namun SBY tidak menjawab dengan tegas  sementara Partai Demokrat yang baru berdiri telah mnendeklarasikan pencalonannya.

Dengan alasan itu, Megawati tidak pernah lagi mengajak SBY dalam rapat kabinet. Artinya mundurnya SBY dari kabinet jelas sudah diperhitungkan oleh Megawati. Di sini makna kecolongan tidak tepat.

Kecolongan kedua, SBY menggandeng JK. Bagaimana disebut kecolongan sementara saat itu tidak ada wacana Megawati akan menggandeng JK. Posisi JK di Kabinet Gotong Royong sama seperti SBY yakni bentuk kompromi pasca kemelut politik 2001 yang berujung pelengseran Gus Dur. Megawati membutuhkan sosok TNI yang diwakili SBY dan Golkar yang diwakili JK.

Makna kecolongan yang dimaksud SBY justru lebih dekat pada keberhasilan Partai Demokrat di Pemilu 2004 yang sedikit banyak terbantu oleh friksi antara SBY dengan Megawati yang kemudian dibumbui ucapan Taufik Kiemas.

Kecolongan kedua, adalah kekalahan Megawati di Pilpres 2004. SBY sangat yakin dengan menggandeng JK akan bisa mengalahkan Megawati. Mungkin kekalahan itu yang dimaksud sebagai kecolongan kedua.

Terlepas makna sebenarnya, kita justru tertarik dengan cara SBY "mengelabuhi" Megawati saat mendirikan partai politik. Etiskah cara yang dipakai SBY?

Secara politik, tidak ada yang salah. Terlebih SBY juga bukan kader PDIP dan posisinya di kabinet karena memang dibutuhkan oleh Megawati.

Namun secara etika, sikap SBY tidak bisa dijadikan teladan. Jauh lebih gentleman andai saat itu SBY langsung mundur dari kabinet setelah dideklarasikan oleh Partai Demokrat sebagai capres 2004 karena akan berhadapan dengan Megawati.

SBY tidak perlu kasak-kusuk memposisikan diri ditinggal Megawati. Faktanya memang sudah berseberangan, sudah lebih dulu meninggalkan Megawati secara politik.

Dibebernya omongan SBY oleh Marzuki Alie juga tidak dapat ditelan begitu saja mengingat kisruh yang sedang terjadi di tubuh Partai  Demokrat. Marzuki Alie dituding ikut terlibat dalam rencana kudeta terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.

Marzuki yang marah karena merasa dirinya kader dan loyalis SBY,  mungkin saja tengah membutuhkan dukungan pihak lain sehingga melontarkan hal yang sebenarnya juga "tidak etis". Obrolan antar kader, intrnal partai, bukan untuk konsumsi publik, apalagi dipublikasikan dengan maksud dan tujuan berbeda.

Sikap Marzuki akan mendapat tepuk tangan dari lawan-lawan SBY, namun pada saat bersamaan menurunkan kredibilitas dirinya.  

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun