Makna kecolongan yang dimaksud SBY justru lebih dekat pada keberhasilan Partai Demokrat di Pemilu 2004 yang sedikit banyak terbantu oleh friksi antara SBY dengan Megawati yang kemudian dibumbui ucapan Taufik Kiemas.
Kecolongan kedua, adalah kekalahan Megawati di Pilpres 2004. SBY sangat yakin dengan menggandeng JK akan bisa mengalahkan Megawati. Mungkin kekalahan itu yang dimaksud sebagai kecolongan kedua.
Terlepas makna sebenarnya, kita justru tertarik dengan cara SBY "mengelabuhi" Megawati saat mendirikan partai politik. Etiskah cara yang dipakai SBY?
Secara politik, tidak ada yang salah. Terlebih SBY juga bukan kader PDIP dan posisinya di kabinet karena memang dibutuhkan oleh Megawati.
Namun secara etika, sikap SBY tidak bisa dijadikan teladan. Jauh lebih gentleman andai saat itu SBY langsung mundur dari kabinet setelah dideklarasikan oleh Partai Demokrat sebagai capres 2004 karena akan berhadapan dengan Megawati.
SBY tidak perlu kasak-kusuk memposisikan diri ditinggal Megawati. Faktanya memang sudah berseberangan, sudah lebih dulu meninggalkan Megawati secara politik.
Dibebernya omongan SBY oleh Marzuki Alie juga tidak dapat ditelan begitu saja mengingat kisruh yang sedang terjadi di tubuh Partai  Demokrat. Marzuki Alie dituding ikut terlibat dalam rencana kudeta terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
Marzuki yang marah karena merasa dirinya kader dan loyalis SBY, Â mungkin saja tengah membutuhkan dukungan pihak lain sehingga melontarkan hal yang sebenarnya juga "tidak etis". Obrolan antar kader, intrnal partai, bukan untuk konsumsi publik, apalagi dipublikasikan dengan maksud dan tujuan berbeda.
Sikap Marzuki akan mendapat tepuk tangan dari lawan-lawan SBY, namun pada saat bersamaan menurunkan kredibilitas dirinya. Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H