Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Liukkan Cantik Jokowi di Menit Terakhir

20 Desember 2019   14:10 Diperbarui: 20 Desember 2019   14:27 5940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artidjo Alkostar. Foto: KOMPAS.com/Yuniadhi Agung

- dan Profil 5 Anggota Dewan Pengawas KPK

Kesan Presiden Joko Widodo membiarkan, bahkan turut andil, terhadap upaya pelemahan pemberantasan korupsi sulit dihindari pasca terjadinya sejumlah peristiwa yang memiliki tendensi ke arah itu. Tidak ingin kesan tersebut terus melekat, Jokowi membuat liukkan cantik di luar dugaan publik.

Kesan pertama terjadi ketika Presiden Jokowi membiarkan proses revisi kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM terlibat aktif dalam proses tersebut.

Demo berseri yang digelar mahasiswa dan pelajar serta elemen pro antikorupsi, termasuk sejumlah tokoh ternama, gagal menghentikan. Meski tidak menandatangani hasil revisi UU KPK, kesan Presiden ikut melegalkan tetap melekat karena sesuai ketentuan Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 rancangan UU yang telah disahkan DPR otomatis menjadi UU setelah 30 hari.

Kesan itu semakin kuat karena hingga hari ini Jokowi menolak  mengeluarkan Perppu untuk menganulir hasil revisi yang kini telah menjadi UU yakni UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Belum  usai soal UU KPK yang baru, Presiden Jokowi kembali membuat kebijakan kontroversi yang kian mengesakan tidak peduli dengan upaya pemberantasan korupsi yakni ketika memberikan grasi kepada mantan Gubernur Riau  Annas Maamun, terpidana korupsi kasus alih fungsi lahan.

Jokowi semakin jauh dari KPK ketika memilih menyaksikan aksi teaterikal sejumlah menteri di SMA 57 Jakarta dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia. Jokowi menugaskan Wakil Presiden Ma'ruf Amin untuk menghadiri kegiatan serupa di KPK.

Setelah menjadi sasaran kritik para penggiat antikorupsi, Presiden Jokowi pun membuat manuver cantik yang dipastikan dapat membelah opini para pengiat antikorupsi. Disebut "cantik" karena hal itu dilakukan tepat pada isu yang menjadi titik didih yakni Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Seperti diketahui, munculnya Dewas KPK mendapat tentangan luas karena dianggap akan mengebiri upaya pemberantasan korupsi terutama terkait dengan penyadapan yang menjadi ruh dari operasi tangkap tangan (OTT). Sebab setelah berlakuknya UU KPK yang baru, maka penyadapan, penggeledahan dan penyitaan  yang dilakukan penyidik KPK harus seizin dewas.

Salah satu kekuatiran yang mengemuka adalah kemungkinan upaya penyadapan dalam untuk membongkar dan merangkai alur korupsi akan bocor. Proses izin juga kemungkinan memakan waktu  sehingga kemungkinan objek sudah selesai melakukan transaksi korupsi sebelum KPK melakukan penyadapan.

Hal lainnya adalah kemungkinan adanya intervensi politik. Sebab,  meski calon anggota dewas diseleksi oleh tim, namun untuk yang pertama ditunjuk langsung oleh presiden. Belum lagi terkait integritasnya karena de3was tidak dilarang rangkap jabatan dan bertemu dengan pihak yang berperkara sebagaimana penyidik dan komisioner KPK.

Sangat mungkin Presiden Jokowi "membaca" keresahan dan kekuatiran para penggiat antikorupsi dan pihak-pihak yang menyerang dirinya terkait isu pemberantasan korupsi ketika memilih nama-nama anggota dewas yakni Albertina Ho, Harjono, Artidjo Alkostar, Syamsuddin Haris dan Tumpak Hatorangan Panggabean.  

Siapa yang meragukan kredibilitas dan integritas kelima anggota Dewas KPK tersebut? Mereka memiliki rekam jejak bersih dan tegas dalam penegakan hukum.

Harjono sebelumnya adalah Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu (DKPP). Saat berlangsung Pemilu dan Pilpres 2019 lalu, DKPP banyak membuat keputusan tegas terkait pelanggaran yang dibuat para penyelenggaran pemilu. Salah satunya ketika memberhentikan Ketua KIP dan Ketua Panwaslih Kabupaten Aceh Besar Cut Agus Fathillah dan Adinirwan.

Albertina Ho dikenal karena kegigihan dan kecermatannya dalam memimpin sidang kasus suap dengan terdakwa pegawai pajak Gayus Tambunan membuat publik terkesan dan memberikan julukkan "Srikandi Hukum". Dengan posisinya sekarang, Albertina diyakini mampu menutup celah kemungkinan terjadinya "goreng kasus" oleh oknum KPK.  

Untuk mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar, rasanya tidak perlu diulas lagi mengingat ketegasannya dalam penegakan hukum sudah dikenal luas. Artidjo sangat ditakuti koruptor karena rajin menaikkan hukuman di tingkat kasasi. Bahkan saat Artidjo masih menjabat,  banyak tersangka koruptor yang enggan mengajukan kasasi karena takut hukumannya akan bertambah.

Demikian juga dengan Tumpak Hatorangan Panggabean. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2003-2007 ini dikenal memiliki ketegasan dan integritas tinggi. Lebih dari itu, sarjana hukum dari Universitas Tanjungpura Pontianak yang telah berkarier selama 30 tahun di kejaksaan ini  dapat menjadi guide bagi anggota dewas lainnya untuk memahami ritme kerja KPK.

Bagaimana dengan nama yang paling "asing" Syamsuddin Haris? Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini dikenal sebagai bagian dari kubu yang menolak revisi dan ikut menyuarakan agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK.

Di samping mengajar pada Program Pasca-Sarjana Ilmu Politik pada FISIP Unas dan Program Pasca-Sarjana Komunikasi pada FISIP UI, laki-laki kelahiran Bima (NTB), 9 Oktober 1957 ini juga banyak menulis buku dan artikel utamanya tentang demokrasi.

Selain melantik dewas, hari ini Jokowi juga melantik pimpinan KPK periode 2019-2023 yang terdiri dari Firli Bahuri (ketua), Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango dan Alexander Marwata (anggota).

Kita berharap, meski tetap tidak sepakat dengan sejumlah poin dalam UU KPK yang baru, termasuk keberadaan dewas, tetapi mungkin ini jalan tengah yang terbaik.  Kita menghargai keputusan Presiden Jokowi yang telah berani mengangkat anggota dewas yang memiliki integritas mumpuni dan tidak terkontaminasi kepentingan partai politik tertentu.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun