Dalam kondisi darurat, sah-sah saja melakukan impor gas. Mungkin bisa memberikan semacam shock therapy kepada calo-calo gas di dalam negeri yang selama ini mengendalikan harga gas. Pertanyaannya adalah, apakah waktu dua bulan yang diberikan Presiden Jokowi untuk menurunkan harga gas terlalu singkat? Apakah dalam rentang waktu tersebut tidak bisa dilakukan pembenahan tata kelola gas?
Andai boleh berandai-andai, rasanya Presiden Jokowi akan memaklumi pembantunya jika sampai bulan Februari atau Maret harga gas masih tinggi tetapi sudah keluar regulasi yang menjamin efisiensi distribusi gas dalam negeri sehingga akan berdampak pada penurunan harga gas secara signifikan.
Artinya, lebih baik meminta pengertian pelaku usaha untuk “berkorban” selama 2-3 bulan tetapi ke depannya ada jaminan pasokan gas dengan harga kompetitif, dari pada membuka kran impor gas yang berarti mengingkari cita-cita dan semangat kemandirian ekonomi seperti yang termaktub dalam Nawa Cita.
Sebab jika impor dilakukan, berarti akan ada perusahaan baru yang diberi kewenangan untuk melakukannya. Apakah ada perusahaan yang mau membangun infrastruktur untuk penyaluran gas impor yang hanya berdurasi 3-6 bulan, sebelum proses perbaikan tata kelola gas di dalam negeri selesai?
Tentunya semua perusahaan, sekali pun perusahaan plat merah, sebelum membangun infrastruktur pendukung meminta jaminan keberlangsungan aktivitas usahanya dalam rentang waktu tertentu, dan kalau bisa selamanya!
Jadi, bukan anti impor, tetapi tidaklah tepat jika Luhut, yang juga Menko Kemaritiman, mengambil jalan pintas dengan membuka kran impor demi menurunkan harga gas di dalam negeri sesuai keinginan Presiden Jokowi. Masih banyak cara tanpa harus “merobek-robek” Nawa Cita.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H