Perintah Presiden Joko Widodo agar harga gas industri diturunkan dari US$ 9,5–13 per MMBTU (Million Metric British Thermal Unit) ke US$ 6 per MMBTU dijawab Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan dengan membuka wacana impor gas. Jika semua persoalan diselesaikan dengan cara pintas seperti itu, di manakah “kitab” Nawa Cita Jokowi?
Salah satu poin penting Nawa Cita Jokowi adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kemandiarian ekonomi hanya mungkin bisa dicapai jika perekonomian kita dibangun dengan meminimalisir ketergantungan bahan baku dan komponen penunjang produks.
Saat ini, gas merupakan salah satu komponen industri yang sangat vital. Jika tetap memaksakan diri menggunakan gas impor, sementara produksi gas dalam negeri masih berlimpah, lebih baik simpan dulu jargon tentang kemandirian ekonomi.
Kita tidak anti impor. Bagaimana pun, percaturan ekonomi global saat ini memaksa semua negara untuk membuka pasar ekonominya. Indonesia yang telah meratifikasi sejumlah kesepakatan perdagangan bebas baik regional maupun global, tidak bisa menghindar jika tidak ingin mendapat sanksi internasional.
Sungguh pun demikian, tidak serta-merta semua hal dibiarkan tanpa kontrol pemerintah. Impor komoditi strategis, terutama pangan, harus tetap dikendalikan, agar tidak terjadi over supply di dalam negeri yang berakibat hancurnya industri pangan dan pertanian di dalam negeri. Impor bahan pangan dan komoditi strategis harus tetap dikaitkan dengan kebijakan di dalam negeri.
Semurah apapun produk dari satu negara, tidak serta-merta didatangkan jika akan mematikan usaha sejenis di dalam negeri. Mahalnya harga barang sejenis di dalam negeri tidak bisa dijadikan alas pembenar. Pembenahan regulasi, memperpendek rentang kendali, membuang pemain (baca : calo) yang hanya memburu rente, adalah hal-hal yang urgen untuk dilakukan.
Wacana impor gas mengingatkan kita pada kebijakan impor bawang merah di tengah panen raya petani bawang beberapa waktu lalu. Sebab saat ini produksi gas Indonesia sangat berlimpah. Indonesia berada di urutan ke 10 sebagai negara penghasil gas terbesar di dunia dengan jumlah produksi mencapai 75 milyar M3 (2015). Di tahun yang sama, konsumsi gas Indonesia hanya 39,7 milyar M3 seperti bisa dibaca di laman Indonesia Invesments
Salah satu penyebab tingginya harga gas di Indonesia adalah tingginya biaya produksi sehingga harga gas dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sudah mencapai US$ 4–US$5 per MMBTU. Bahkan menurut data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), harga jual gas bumi sejumlah KKKS ada yang mencapai US$ 8 per MMBTU seperti dikutip dari kompas.com
Bandingkan dengan negara lain yang hanya di kisaran US$2. Mengapa hal itu bisa terjadi? Salah satunya terkait besarnya biaya untuk mendapatkan kontrak kerjasama, di samping mahalnya biaya ekplorasi karena kebanyakan ladang gas di Indonesia berada di lepas pantai. Faktor lain yang tidak kalah penting menyokong tingginya harga gas di Indonesia adalah keterlibatan calo sebagai mata rantai distribusi.
Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Syamsir Abduh di sini setidaknya ada 4-5 lapis mata rantai yang harus dilewati sebelum gas sampai pada distributor. Jadi bisa dibayangkan, berapa selisih harga dari KKKS hingga ke konsumen.
Pemerintah dan pihak-pihak terkait sangat paham terkait masalah ini. Datanya sudah tersaji secara lengkap dan gamblang. Persoalannya sekarang adalah kemauan semua pihak, terutama para pembantu presiden, untuk membongkar silang-sengkarut yang membuat harga gas di dalam negeri lebih mahal dari negara tetangga yang tidak memiliki ladang gas seperti Singapura.
Dalam kondisi darurat, sah-sah saja melakukan impor gas. Mungkin bisa memberikan semacam shock therapy kepada calo-calo gas di dalam negeri yang selama ini mengendalikan harga gas. Pertanyaannya adalah, apakah waktu dua bulan yang diberikan Presiden Jokowi untuk menurunkan harga gas terlalu singkat? Apakah dalam rentang waktu tersebut tidak bisa dilakukan pembenahan tata kelola gas?
Andai boleh berandai-andai, rasanya Presiden Jokowi akan memaklumi pembantunya jika sampai bulan Februari atau Maret harga gas masih tinggi tetapi sudah keluar regulasi yang menjamin efisiensi distribusi gas dalam negeri sehingga akan berdampak pada penurunan harga gas secara signifikan.
Artinya, lebih baik meminta pengertian pelaku usaha untuk “berkorban” selama 2-3 bulan tetapi ke depannya ada jaminan pasokan gas dengan harga kompetitif, dari pada membuka kran impor gas yang berarti mengingkari cita-cita dan semangat kemandirian ekonomi seperti yang termaktub dalam Nawa Cita.
Sebab jika impor dilakukan, berarti akan ada perusahaan baru yang diberi kewenangan untuk melakukannya. Apakah ada perusahaan yang mau membangun infrastruktur untuk penyaluran gas impor yang hanya berdurasi 3-6 bulan, sebelum proses perbaikan tata kelola gas di dalam negeri selesai?
Tentunya semua perusahaan, sekali pun perusahaan plat merah, sebelum membangun infrastruktur pendukung meminta jaminan keberlangsungan aktivitas usahanya dalam rentang waktu tertentu, dan kalau bisa selamanya!
Jadi, bukan anti impor, tetapi tidaklah tepat jika Luhut, yang juga Menko Kemaritiman, mengambil jalan pintas dengan membuka kran impor demi menurunkan harga gas di dalam negeri sesuai keinginan Presiden Jokowi. Masih banyak cara tanpa harus “merobek-robek” Nawa Cita.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H