Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ahok; Antara Pilkada di Daerah dan Jakarta

28 Agustus 2016   13:04 Diperbarui: 28 Agustus 2016   15:22 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lampung kemudian dipimpin oleh pelaksana tugas gubernur Tursandi Alwi yang didrop dari Kementerian Dalam Negeri. Isu agar segera dilakukan pemilihan ulang gubernur  Lampung merebak nyaris tak terkendali. Kompleks kantor gubernur sampai harus ‘dipagari’ kawat berduri karena nyaris setiap hari didatangi pendemo baik yang mendesak Alzier dibebaskan dan dilantik, maupun mereka yang menghendaki segera dilakukan pemilihan ulang. Sementara kubu Oemarsono meminta agar pemerintah pusat melantik Oemarsono sebagai runner up dalam pemilihan 2002. Logikanya, dalam kompetisi apapun, jika pemenang pertama didiskualifikasi, maka pemenang kedua berhak untuk mengambil-alih.

Di sela-sela ketiga asprasi itu, isu Lampung harus dipimpin putra asli Lampung, semakin kencang berhembus karena didukung kedua kelompok di luar kubu Oemarsono. HMI beberapa kali menegur saya karena dinilai “kurang berani” menulis soal itu. Terus terang saja, dan ini saya sampaikan langsung kepada beliau dan kemudian saya tulis dalam buku biografi beliau yang diinisiasi oleh putranya, Adolf Ayatullah Indrajaya yang saat ini menggantikan posisi ayahnya, jika saya tidak bisa menyuarakan aspirasi yang bersifat rasial. Terlebih saya punya “pengalaman” saat melakukan hal yang sama di Cilacap. Saat itu HMI tertawa.

“Kamu perlu belajar lagi soal politik,” kata beliau.

Cambuk itu membuat saya ‘marah’. Saya pun lebih intens mengauli isu-isu yang bersifat primordialisme termasuk mencari tahu alasan HMI menonjolkan isu putra daerah dibanding hasil kerja Oemarsono. Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, isu primordialisme dalam tataran politik tidak dimaksudkan sebagai bentuk kebencian atas ras lain, tapi hanya sebuah ‘cara’ dari sekian banyak isu yang bisa dieksplore untuk menarik simpati. Saat itu, ketika ueforia kedaerahan tengah memanas, isu primordialisme sangat efektif untuk menarik perhatian massa. Jadi beda sekali dengan pemahaman saya saat ‘mendukung’ gerakan serupa di Cilacap.

Akhirnya pemilihan gubernur Lampung kembali dilaksanakan oleh DPRD setempat pada tahun 2004. Komjen (Pol) Purn Sjachroedin ZP yang berpasangan dengan Syamsuria Ryacudu- adik Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, mengalahkan Oemarsono. Pasangan ini kemudian dilantik menjadi Gubernur  dan Wakil Gubernur Lampung.

Apakah isu primordialisme hilang? Tidak. Isu tersebut terus berkembang dan menjalar ke kabupaten-kabupaten yang ada di Lampung. Terlebih setelah diberlakukannya pemilihan kepala daerah dengan melibatkan partisipasi rakyat secara langsung, tidak melalui perwakilan di DPRD. Hasilnya sangat variatif. Meski hampir seluruh kabupaten/kota di Lampung didominasi etnis Jawa, nama calon-calon kepala daerah berlatar-belakang Jawa banyak yang berguguran. Saat itu hanya satu dua daerah yang dimenangkan oleh calon dari etnis Jawa seperti di Lampung Timur. Selebihnya dimenangkan oleh pasangan non Jawa. Puncaknya terjadi pada pilgub tahun 2009 di mana sang petahana Kiay Oedin kembali mengalahkan Oemarsono dengan suara telak. Bahkan calon beretnis Jawa lainnya dari dari jalur independen yaitu Prof. Muhajir Utomo- mantan rektor Universitas Lampung, yang berpasangan dengan Andi Arief, gagal total.

Ini menunjukkan rasionalitas pemilih di Lampung yang ternyata sudah keluar dari isu primordialisme. Hebatnya lagi, meski saat itu media sosial sudah ada, namun nyaris tidak ada hujatan berbau rasis terhadap mereka yang beda pandangan  dan pilihan politik. Tidak ada label rasis, stigma primordialis terhadap mereka-mereka yang menyuarakan pentinganya Lampung harus dipimpin putra daerah dan sebaliknya. Meski di Lampung kerap terjadi bentrok antar kampung dengan membawa-bawa etnis, namun tidak demikian halnya dalam tataran politik.

Tidak pernah sekali pun ada bentrokan di Lampung terkait isu politik kesukuan.

Tahun 2010 saya “balik kampung” ke Jakarta, kota tempat kelahiran saya. Saat itu suhu politik sudah memanas karena menjelang pilgub. Berbagai survei menempatkan petahana Fauzi Bowo (Foke) di posisi teratas. Dengan elektabilitas rerata di atas 50 persen, Foke nyaris tanpa lawan. Lalu datanglah Wali Kota Solo Joko Widodo sebagai penantang. Jokowi lantas dipasangkan dengan Ahok yang didukung Partai Gerindra, setelah Ahok keluar dari Partai Golkar yang memilih mendukung Foke.

Isu primordialisme sontak merebak. Jokowi dikaitkan dengan PKI sementara Ahok dipersonifikasikan sebagai “wakil china”.  Sebagai pendukung Jokowi, saya sempat beberapa kali mendapat ‘hujatan’ sebagai antek PKI. Tulisan-tulisan saya di facebook dan media lainnya, dihujani makian seperti itu, saya memilih tertawa karena yakin betul penghujatnya anak-anak alay yang kebetulan hanya beda pilihan. Demikian juga ketika beberapa teman akhirnya memutus pertemanan di jejaring media sosial. So, tidak ada sesuatu yang ‘darurat’. Terlebih setelah pilgub DKI 2012 selesai, saya lebih banyak menghabiskan waktu di Medan sebagai Redaktur Pelaksana SKH Medan Pos.

Memang mungkin sudah garis hidup, saya kembali bertemu dengan kondisi yang nyaris serupa dengan di Lampung.  Saya dihadapkan pada berita-berita berbau rasis menjelang pelaksanaan pemilihan gubernur Sumatera Utara. Petahana Gatot Pujo Nugroho kebetulan bukan beretnis Batak yang menjadi mayoritas di daerah Tapanuli dan sekitaranya atau pun etnis Melayu yang cukup dominan di Medan dan beberapa daerah lain. Meski etnis Jawa masih mendominasi, namun secara politik, tidak terlalu menonjol dibanding etnis Batas dan Melayu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun