Mengapa jika mengkritik kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dilabeli rasis, anti china? Apakah hanya sekadar trik politik untuk membungkam kritik terhadap Ahok, ataukah memang demikian adanya? Mari kita bandingkan pilkada di Jakarta di era Ahok dengan pilkada sejumlah daerah yang memiliki persaingan tidak kalah panas dengan bumbu isu primordial.
Hasil reformasi tahun 1998 yang paling mengemuka adalah kebangkitan daerah. Bukan hanya terjadi desentralisasi di bidang politik dan pemerintahan, namun juga menguatkan isu-isu kedaerahan. Setelah 32 tahun lebih dalam kungkungan politik Orde Baru yang sentralistik, sangat wajar ketika kebebasan yang didapat paca tumbangnnya Presiden Soeharto disambut dengan euforia.
Pemilu tahun 1999 berlangsung dalam suasana itu. Bupati Cilacap Kolonel (TNI) Herry Tabri Karta merasakan betul dampaknya. Hampir setiap hari dirinya didemo masyarakat yang menuntut segera dilakukan pergantian kepemimpinan daerah karena mantan anggota Kopassus itu bukan putra asli Cilacap. Herry Tabri Karta berasal dari daerah Cirebon, Jawa Barat. Dia diangkat menjadi bupati saat Pak Harto masih berkuasa melalui jalur kekaryaan yang menjadi doktrin TNI.
Saya saat itu kontributor Harian Mitra Dialog, group Pikiran Rakyat. Ada perasaan bimbang ketika menulis berita yang menyudutkan Herry Tabri Karta karena basis Koran Mitra Dialog ada di Cirebon, termasuk kantor redaksinya. Berita-berita penolakan itu pun ‘terpaksa’ dbuat sehalus mungkin. Namun tidak dalam hal mengkritik di luar urusan pekerjaan. Akibatnya, bersama Daryono Yunani- pelukis dan penyair terkenal di Cilacap, saya pernah ditantang berkelahi (an sich). Saat itu saya dan Yunani datang ke pendopo kabupaten untuk menemui bupati. Tidak disangka, kami bertemu di lorong menuju ruang kerjanya. Tiba-tiba Pak Bupati ngamuk melihat kedatangan kami.
“Mau melawan saya? Saya tidak takut. Silahkan laporkan kepada siapa saja! Ke DPRD, DPR atau presiden!” teriak Pak Bupati sambil memukul benda yang ada di dekatnya.
Tentu saya dan Yunani terperangah. Kaget bercampur takut. Jangankan bupati, melawan lurah saja (dalam arti kontak fisik) kami tidak berani karena budaya kami mengajarkan untuk tidak melawan (secara fisik) orang yang lebih tua apalagi seorang pemimpin. Kami kemudian terlibat dalam perdebatan panjang dengan ditonton ratusan pegawai Pemkab Cilacap yang keluar dari ruangan karena mendengar ribut-ribut tersebut. Beberapa anggota Sat Pol PP yang hendak ‘menangkap’ kami, dicegah oleh Pak Bupati.
Setelah cukup lama berdebat (tentu dengan kepala kami berdua tertunduk sementara Pak Bupati terus dengan sikap siap untuk beradu fisik), akhirnya kami berdua memilih kabur. Namun sepanjang lorong menuju ke luar pendopo kami terus diikuti oleh Pak Bupati disertai dengan ocehan panjang-pendek. Beberapa hari kemudian kami dipanggil secara khusus untuk menghadap beliau. Dalam pertemuan di rumah dinas, Pak Bupati menyampaikan banyak hal. Singkat cerita kami menjadi ‘teman’ yang baik.
Satu catatan khusus, Herry Tabri Karta sama sekali tidak menganggap apa yang kami lakukan selama ini, menyerang kebijkannya- terutama terkait dirinya yang bukan orang Cilacap, sebagai sikap rasis. Demikian juga suara-suara di luar, para pendemo, yang meminta agar Herry mundur karena “Cilacap harus dipimpin oleh orang Cilacap”. Pak Bupati menganggap hal itu sebagai sebuah dinamika dan kewajaran (mungkin setelah melalui perenungan dan juga masukkan dari timnya). Kami pun lantas menjelaskan sikap kami secara terbuka, bahwa selama kepemimpinannya beliau kurang memperhatikan perkembangan budaya Cilacap. Salah satu penyebabnya karena beliau tidak ‘paham’ kultur dan budaya Cilacap.
Tahun 2002 saya ke Lampung. Saat itu kondisi politik tengah panas-panasnya menjelang pemilihan gubernur. Sebagai redaktur politik di Surat Kabar Harian (SKH) Lampung Ekspres plus, saya setiap hari bergelut dengan isu-isu yang sangat sensitif. Seperti diketahui, mayoritas penduduk Lampung adalah keturunan Jawa sehingga Presiden Soekarno pernah berseloroh jika Lampung bisa menjadi provinsi Jawa bagian Utara. Orang-orang Jawa di Lampung pertama kali dikirim oleh Belanda tahun 1905 untuk membuka lahan-lahan perkebunan.
Bos saya, (almarhum) Harun Muda Indrajaya (HMI) sangat ‘garang’ menyuarakan keharusan Lampung dipimpin oleh orang Lampung. Pada saat itu yang menjadi gubernur Oemarsono- yang beretnis Jawa dan merupakan “orang Cendana”. ‘Gilanya’ Oemarsono membalas isu Lampung harus dipimpin putra daerah, dengan slogan piye-piye pilih wonge dewe (bagaimana dan apapun kondisinya, lebih baik pilih orang dari suku sendiri). Slogan itu memang bukan ciptaan Oemarsono dan beliau juga tidak pernah mengucapkan secara langsung di hadapan publik, tetapi semua tahu dari mana asal slogan itu. Setidaknya Oemarsono tidak pernah melarang berkembangnya slogan berbau primordialisme itu.
Hasilnya, dalam pemilihan gubernur yang dilaksanakan oleh DPRD Lampung, Oemarsono dikalahkan oleh Alzier Dianis Thabrani, putra daerah. Namun Alzier- saat ini ketua DPD I Golkar Lampung, tidak dilantik oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Alzier, yang sebelum pemilihan gubernur merupakan ketua DPC PDIP Lampung Selatan, bahkan sempat ‘ditahan’ Polda Lampung dan dibawa paksa ke Mabes Polri.
Lampung kemudian dipimpin oleh pelaksana tugas gubernur Tursandi Alwi yang didrop dari Kementerian Dalam Negeri. Isu agar segera dilakukan pemilihan ulang gubernur Lampung merebak nyaris tak terkendali. Kompleks kantor gubernur sampai harus ‘dipagari’ kawat berduri karena nyaris setiap hari didatangi pendemo baik yang mendesak Alzier dibebaskan dan dilantik, maupun mereka yang menghendaki segera dilakukan pemilihan ulang. Sementara kubu Oemarsono meminta agar pemerintah pusat melantik Oemarsono sebagai runner up dalam pemilihan 2002. Logikanya, dalam kompetisi apapun, jika pemenang pertama didiskualifikasi, maka pemenang kedua berhak untuk mengambil-alih.
Di sela-sela ketiga asprasi itu, isu Lampung harus dipimpin putra asli Lampung, semakin kencang berhembus karena didukung kedua kelompok di luar kubu Oemarsono. HMI beberapa kali menegur saya karena dinilai “kurang berani” menulis soal itu. Terus terang saja, dan ini saya sampaikan langsung kepada beliau dan kemudian saya tulis dalam buku biografi beliau yang diinisiasi oleh putranya, Adolf Ayatullah Indrajaya yang saat ini menggantikan posisi ayahnya, jika saya tidak bisa menyuarakan aspirasi yang bersifat rasial. Terlebih saya punya “pengalaman” saat melakukan hal yang sama di Cilacap. Saat itu HMI tertawa.
“Kamu perlu belajar lagi soal politik,” kata beliau.
Cambuk itu membuat saya ‘marah’. Saya pun lebih intens mengauli isu-isu yang bersifat primordialisme termasuk mencari tahu alasan HMI menonjolkan isu putra daerah dibanding hasil kerja Oemarsono. Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, isu primordialisme dalam tataran politik tidak dimaksudkan sebagai bentuk kebencian atas ras lain, tapi hanya sebuah ‘cara’ dari sekian banyak isu yang bisa dieksplore untuk menarik simpati. Saat itu, ketika ueforia kedaerahan tengah memanas, isu primordialisme sangat efektif untuk menarik perhatian massa. Jadi beda sekali dengan pemahaman saya saat ‘mendukung’ gerakan serupa di Cilacap.
Akhirnya pemilihan gubernur Lampung kembali dilaksanakan oleh DPRD setempat pada tahun 2004. Komjen (Pol) Purn Sjachroedin ZP yang berpasangan dengan Syamsuria Ryacudu- adik Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, mengalahkan Oemarsono. Pasangan ini kemudian dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung.
Apakah isu primordialisme hilang? Tidak. Isu tersebut terus berkembang dan menjalar ke kabupaten-kabupaten yang ada di Lampung. Terlebih setelah diberlakukannya pemilihan kepala daerah dengan melibatkan partisipasi rakyat secara langsung, tidak melalui perwakilan di DPRD. Hasilnya sangat variatif. Meski hampir seluruh kabupaten/kota di Lampung didominasi etnis Jawa, nama calon-calon kepala daerah berlatar-belakang Jawa banyak yang berguguran. Saat itu hanya satu dua daerah yang dimenangkan oleh calon dari etnis Jawa seperti di Lampung Timur. Selebihnya dimenangkan oleh pasangan non Jawa. Puncaknya terjadi pada pilgub tahun 2009 di mana sang petahana Kiay Oedin kembali mengalahkan Oemarsono dengan suara telak. Bahkan calon beretnis Jawa lainnya dari dari jalur independen yaitu Prof. Muhajir Utomo- mantan rektor Universitas Lampung, yang berpasangan dengan Andi Arief, gagal total.
Ini menunjukkan rasionalitas pemilih di Lampung yang ternyata sudah keluar dari isu primordialisme. Hebatnya lagi, meski saat itu media sosial sudah ada, namun nyaris tidak ada hujatan berbau rasis terhadap mereka yang beda pandangan dan pilihan politik. Tidak ada label rasis, stigma primordialis terhadap mereka-mereka yang menyuarakan pentinganya Lampung harus dipimpin putra daerah dan sebaliknya. Meski di Lampung kerap terjadi bentrok antar kampung dengan membawa-bawa etnis, namun tidak demikian halnya dalam tataran politik.
Tidak pernah sekali pun ada bentrokan di Lampung terkait isu politik kesukuan.
Tahun 2010 saya “balik kampung” ke Jakarta, kota tempat kelahiran saya. Saat itu suhu politik sudah memanas karena menjelang pilgub. Berbagai survei menempatkan petahana Fauzi Bowo (Foke) di posisi teratas. Dengan elektabilitas rerata di atas 50 persen, Foke nyaris tanpa lawan. Lalu datanglah Wali Kota Solo Joko Widodo sebagai penantang. Jokowi lantas dipasangkan dengan Ahok yang didukung Partai Gerindra, setelah Ahok keluar dari Partai Golkar yang memilih mendukung Foke.
Isu primordialisme sontak merebak. Jokowi dikaitkan dengan PKI sementara Ahok dipersonifikasikan sebagai “wakil china”. Sebagai pendukung Jokowi, saya sempat beberapa kali mendapat ‘hujatan’ sebagai antek PKI. Tulisan-tulisan saya di facebook dan media lainnya, dihujani makian seperti itu, saya memilih tertawa karena yakin betul penghujatnya anak-anak alay yang kebetulan hanya beda pilihan. Demikian juga ketika beberapa teman akhirnya memutus pertemanan di jejaring media sosial. So, tidak ada sesuatu yang ‘darurat’. Terlebih setelah pilgub DKI 2012 selesai, saya lebih banyak menghabiskan waktu di Medan sebagai Redaktur Pelaksana SKH Medan Pos.
Memang mungkin sudah garis hidup, saya kembali bertemu dengan kondisi yang nyaris serupa dengan di Lampung. Saya dihadapkan pada berita-berita berbau rasis menjelang pelaksanaan pemilihan gubernur Sumatera Utara. Petahana Gatot Pujo Nugroho kebetulan bukan beretnis Batak yang menjadi mayoritas di daerah Tapanuli dan sekitaranya atau pun etnis Melayu yang cukup dominan di Medan dan beberapa daerah lain. Meski etnis Jawa masih mendominasi, namun secara politik, tidak terlalu menonjol dibanding etnis Batas dan Melayu.
Menariknya, meski elit politik dalam menentukan pasangan masih menggunakan sudut pandang primordialisme- mungkin itu juga yang menjadi salah satu dasar pertimbangan Gatot yang bertenis Jawa ketika memilih Tengku Erry Nuradi yang berdarah Melayu-Minang sebagai pasangannya, masyarakat di bawah tidak agresif menyuarakan hal itu. Padahal pasangan calon yang ikut dalam kontestasi pilgub Sumut sangat multi etnis yakni Chairuman Harahap-Fadly Nurzal, Gatot Pujo Nugroho -Tengku Erry Nuradi, Effendi M Simbolon-Jumiran Abdi, Amri Tambunan-RE Nainggolan serta Gus Irawan Pasaribu-Soekirman. Jarang sekali kita temukan hujatan-hujatan bernada kesukuan kepada calon atau pun pendukung calon yang berbeda suku.
Bahkan menurut analisa Sabar Sitanggang doktor sosiologi jebolan Universitas Indonesia (UI), hanya 10 persen pemilih yang rasional dan mayoritas masih bicara etnisitas, di sini
Saat ini setelah lebih banyak mengurusi majalah di Jakarta, saya kembali mendapatkan pelajaran penting terkait isu primordialisme menjelang pilgub DKI Jakarta. Petahana Ahok bahkan berulangkali mengekspose atnis dan agamanya di ruang-orang terbuka seperti yang dilakukannya saat diwawancara Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa beberapa waktu lalu. Sikap Ahok- yang kemungkinan dimaksudkan sebagai counter terhadap jargon-jargon anti gubernur kafir dan china, seperti yang dulu sering disuarakan Front Pembela Islam, mendapat sambutan luar biasa dari para pendukungnya.
Siapa pun yang mengkritik Ahok, langsung dilabeli sebagai anti china dan Islam- yang diungkapkan dengan sebutan onta. Media-media sosial, komentar-komentar di media online dengan jaringan, penuh dengan makian seperti itu. Meminjam slogan iklan minuman ringan, apapun kritiknya, anti china dan onta labelnya, Bahkan sampai ada yang dengan lucu menjustifikasi, 100 persen pembenci Ahok adalah rasis (baca: anti china).
Apa yang sebenarnya terjadi?
Sejak mendeklarasikan diri di Kompasiana tidak akan memilih Ahok dalam kontestasi pilgub DKI, saya sudah kenyang mendapat hujatan semacam itu. Dan sekali lagi saya hanya tertawa, bahkan jujur saja bangga mendapat ‘kehormatan’ itu. Mengapa? Karena tulisan saya ternyata mendapat respon. Alangkah sedihnya ketika kita menulis tidak ada yang membaca apalagi meresponnya. Soal negatif atau positif, tergantung sudut pandang saja.
Ketika saya berulangkali mengkritik sepakterjang Teman Ahok, mereka pun mendasarkan pada sentimen etnis. Mereka mengesampingkan fakta bahwa beberapa argumen yang saya paparkan mendekati ‘kebenaran’ karena saya bergaul langsung dengan beberapa relawannya. Bukankah kemudian terbukti jika relawan Ahok dibentuk oleh lembaga konsultan politik dan mendapat “uang operasional” dalam melaksanakan pekerjaannya? Bukankah terbukti Ahok akhirnya memilih maju melalui jalur partai politik? Dari mana sumber dananya? Dari penjualan merchandise? Saya sudah mengikuti gelaran politik di berbagai daerah dan sedikit banyak paham soal hal-hal semacam itu.
Ketika saya mempertanyakan statemen Sukanto Tanoto, apakah saya rasis? ‘Kasus’ bos pemilik Raja Garuda Emas itu tidak berdiri sendiri. Isu adanya eksodus ribuan warga Tionghoa saat kerusahan 1998, fakta banyaknya konglomerat bermasalah yang lari ke China, menjadi dasar mengapa saya mempertanyakan apakah statemen Tanoto mewakili semua pandangan orang Tionghoa di Indonesia.
Satu hal lagi yang sangat menggelitik saya, mengapa komentar-komentar di media daring, termasuk Kompasiana, begitu masif dan seragam? Bahwa Ahok memiliki buzzer, itu fakta karena pernah diekspose secara luas saat mereka mengadakan pertemuan dan jamuan makan malam di rumah pribadi Ahok. Tetapi benarkah ada setingan agar mereka mengeksplore anti china dengan tujuan jika kelak Ahok kalah dalam kontestasi pilgub, mereka akan beralasan warga Jakarta rasis? Jika benar seperti itu, alangkah sedihnya saya karena semangat untuk membangun negeri ini yang bebas dari sekat-sekat kesukuan, dikebiri untuk kepentingan politik.
Pertanyaan saya (dan bagian dari kesimpulan tulisan panjang ini), mengapa ketika saya mengkritik Gubernur Lampung yang bersuku Lampung tidak dicap sebagai rasis tapi ketika mengkritik Ahok yang Tionghoa, saya dilabeli rasis? Mengapa ketika mengkritik habis-habisan kewarganegaraan ganda Arcandra Tahar saya tidak hujat rasis padahal beliau bersuku MInang, sementara ketika mempertanyakan sikap warga Tionghoa dalam kaitannya dengan pernyataan Tanoto dan aksi lari sejumlah konglomerat hitam ke negeri China, saya dicap anti china?
Mudah-mudahan saya mendapat pencerahan. Dan saya pun berharap ini tulisan pribadi saya yang terakhir terkait isu etnis. Masih banyak masalah-masalah lain yang lebih berguna untuk diulas dan dibahas.
salam hangat @yb
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI