Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ahok; Antara Pilkada di Daerah dan Jakarta

28 Agustus 2016   13:04 Diperbarui: 28 Agustus 2016   15:22 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa jika mengkritik kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dilabeli rasis, anti china? Apakah hanya sekadar trik politik untuk membungkam kritik terhadap Ahok, ataukah memang  demikian adanya? Mari kita bandingkan pilkada di Jakarta di era Ahok dengan pilkada sejumlah daerah yang memiliki persaingan tidak kalah panas dengan bumbu isu primordial.

Hasil reformasi tahun 1998 yang paling mengemuka  adalah kebangkitan daerah. Bukan hanya terjadi desentralisasi di bidang politik dan pemerintahan, namun juga menguatkan isu-isu kedaerahan. Setelah 32 tahun lebih dalam kungkungan politik Orde Baru yang sentralistik, sangat wajar ketika kebebasan yang didapat paca tumbangnnya Presiden Soeharto disambut dengan euforia.

Pemilu tahun 1999 berlangsung dalam suasana itu. Bupati Cilacap Kolonel (TNI) Herry Tabri Karta merasakan betul dampaknya. Hampir setiap hari dirinya didemo masyarakat yang menuntut segera dilakukan pergantian kepemimpinan daerah karena mantan anggota Kopassus itu bukan putra asli Cilacap. Herry Tabri Karta berasal dari daerah Cirebon, Jawa Barat. Dia diangkat menjadi bupati saat Pak Harto masih berkuasa melalui jalur kekaryaan yang menjadi doktrin TNI.

Saya saat itu kontributor Harian Mitra Dialog, group Pikiran Rakyat. Ada perasaan bimbang ketika menulis berita yang menyudutkan Herry Tabri Karta karena basis Koran Mitra Dialog ada di Cirebon, termasuk kantor redaksinya. Berita-berita penolakan itu pun ‘terpaksa’ dbuat sehalus mungkin. Namun tidak dalam hal mengkritik di luar urusan pekerjaan. Akibatnya, bersama Daryono Yunani- pelukis dan penyair terkenal di Cilacap, saya pernah ditantang berkelahi (an sich). Saat itu saya dan Yunani datang ke pendopo kabupaten untuk menemui bupati. Tidak disangka, kami bertemu di lorong menuju ruang kerjanya. Tiba-tiba Pak Bupati ngamuk  melihat kedatangan kami.

“Mau melawan saya? Saya tidak takut. Silahkan laporkan kepada siapa saja! Ke DPRD, DPR atau presiden!” teriak Pak Bupati sambil memukul benda yang ada di dekatnya.

Tentu saya dan Yunani terperangah. Kaget bercampur takut. Jangankan bupati, melawan lurah saja (dalam arti kontak fisik) kami tidak berani karena budaya kami mengajarkan untuk tidak melawan (secara fisik) orang yang lebih tua apalagi seorang pemimpin. Kami kemudian terlibat dalam perdebatan panjang dengan ditonton ratusan pegawai Pemkab Cilacap yang keluar dari ruangan karena mendengar ribut-ribut tersebut. Beberapa anggota Sat Pol PP yang hendak ‘menangkap’ kami, dicegah oleh Pak Bupati.     

Setelah cukup lama berdebat (tentu dengan kepala kami berdua tertunduk sementara Pak Bupati terus dengan sikap siap untuk beradu fisik), akhirnya kami berdua memilih kabur. Namun sepanjang lorong menuju ke luar pendopo kami terus diikuti oleh Pak Bupati disertai dengan ocehan panjang-pendek. Beberapa hari kemudian kami dipanggil secara khusus untuk menghadap beliau. Dalam pertemuan di rumah dinas, Pak Bupati menyampaikan banyak hal. Singkat cerita kami menjadi ‘teman’ yang baik.

Satu catatan khusus, Herry Tabri Karta sama sekali tidak menganggap apa yang kami lakukan selama ini, menyerang kebijkannya- terutama terkait dirinya yang bukan orang Cilacap, sebagai sikap rasis. Demikian juga suara-suara di luar, para pendemo, yang meminta agar Herry mundur karena “Cilacap harus dipimpin oleh orang Cilacap”. Pak Bupati menganggap hal itu sebagai sebuah dinamika dan kewajaran (mungkin setelah melalui perenungan dan juga masukkan dari timnya). Kami pun lantas menjelaskan sikap kami secara terbuka, bahwa selama kepemimpinannya beliau kurang memperhatikan perkembangan budaya Cilacap. Salah satu penyebabnya karena beliau tidak ‘paham’ kultur dan budaya Cilacap.

Tahun 2002 saya ke Lampung. Saat itu kondisi politik tengah panas-panasnya menjelang pemilihan gubernur. Sebagai redaktur politik di Surat Kabar Harian (SKH) Lampung Ekspres plus,  saya setiap hari bergelut dengan isu-isu yang sangat sensitif. Seperti diketahui, mayoritas penduduk Lampung adalah keturunan Jawa sehingga Presiden Soekarno pernah berseloroh jika Lampung bisa menjadi provinsi Jawa bagian Utara. Orang-orang Jawa di Lampung pertama kali dikirim oleh Belanda tahun 1905 untuk membuka lahan-lahan perkebunan.

Bos saya, (almarhum) Harun Muda Indrajaya (HMI) sangat ‘garang’ menyuarakan  keharusan Lampung dipimpin oleh orang Lampung. Pada saat itu yang menjadi gubernur Oemarsono- yang beretnis Jawa dan merupakan “orang Cendana”. ‘Gilanya’ Oemarsono membalas isu Lampung harus dipimpin putra daerah, dengan slogan piye-piye pilih wonge dewe (bagaimana dan apapun kondisinya, lebih baik pilih orang dari suku sendiri). Slogan itu memang bukan ciptaan Oemarsono dan beliau juga tidak pernah mengucapkan secara langsung di hadapan publik, tetapi semua tahu dari mana asal slogan itu. Setidaknya Oemarsono tidak pernah melarang berkembangnya slogan berbau primordialisme itu.

Hasilnya, dalam pemilihan gubernur yang dilaksanakan oleh DPRD Lampung, Oemarsono dikalahkan oleh Alzier Dianis Thabrani, putra daerah. Namun Alzier- saat ini ketua DPD I Golkar Lampung, tidak dilantik oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Alzier, yang sebelum pemilihan gubernur merupakan ketua DPC PDIP Lampung Selatan, bahkan sempat ‘ditahan’ Polda Lampung dan dibawa paksa ke Mabes Polri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun