Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengapa SBY Memecat Ruhut via SMS?

22 Agustus 2016   18:42 Diperbarui: 23 Agustus 2016   14:16 7831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS/HERU SRI KUMORO Anggota DPR, Ruhut Sitompul, keluar dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta

Seharian ini publik digegerkan dengan berita penonaktifan Ruhut Sitompul dari jabatan Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat. Terlebih Ruhut dilengserkan hanya melalui short message service yang dikirim langsung dari Ketua Umum PD Susilo Bambang Yudhoyono. Apa sebenarnya dosa Ruhut sehingga diperlakukan begitu oleh partai yang selama beberapa tahun terakhir dibelanya?

Benarkah terkait dukungannya kepada petahana Basuki Tjahaja Purnama dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta? Ataukah karena pernyataan kerasnya terkait penangkapan Wakil Bendahara Umum PD I Putu Sudiartana oleh Komisi Pemberantasan Korupsi? Adakah hubungannya dengan vonis yang dijatuhkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait pernyataan kontroversialnya yang memelesetkan singkatan HAM yang seharusnya hak asasi manusia menjadi hak asasi monyet?

Selama ini SBY dikenal sebagai pemimpin yang perfeksionis, sangat memperhatikan penampilan dan tutur katanya. SBY sangat peduli pada etika dan selalu melakukan kajian mendalam sebelum mengambil keputusan. Sikap ini tidak jarang disalah-artikan oleh lawan-lawan politiknya karena dianggap peragu. 

Sebagai jenderal purnawirawan, berpuluh tahun SBY digembleng tentang arti pentingnya menjaga persatuan dan kekompakkan. Meski memiliki kewenangan full- prerogatif, untuk mengangkat dan memberhentikan jajaran pengurus Partai Demokrat, SBY juga senantiasa menggunakan mekanisme partai secara- meminjam istilah SBY, tepat dan terukur tanpa ngasorake (mempermalu) pihak yang dipecat.    

Dengan background seperti itu, tentu menimbulkan beragam spekulasi ketika SBY menonaktifkan Ruhut hanya melalui SMS. Sebab cara itu sangat merendahkan martabat Ruhut yang merupakan politisi senior dan memiliki popularitas tinggi. Terlebih saat ini Ruhut tengah berada “di pihak yang benar” menurut nitizen pro Ahok yang jumlahnya bejibun sehingga selalu memenuhi kolom-kolom komentar media online.     

Jika dibaca dari SMS yang dikirim SBY, alasan utama pencopotan Ruhut adalah "tidak mengikuti kebijakan dan garis partai terutama Ketum PD karena pernyataan-pernyataan yang saudara keluarkan tidak mencerminkan posisi PD dan garis saya selaku Ketum PD" seperti dikutip di sini 

Tentu saja alasan tersebut sangat bias karena banyak sekali pernyataan Ruhut. Pernyataan mana yang dimaksud tidak mengikuti kebijakan dan garis partai (baca: SBY)? Sebab seperti disebut di atas, setidaknya ada tiga pernyataan terbaru Ruhut yang menuai kontroversi. Mari kita telaah satu persatu-satu.

Sikap Ruhut mendukung Ahok tentu salah karena Partai Demokrat belum mengambil keputusan siapa yang akan diusung dalam kontestasi pilkada DKI Jakarta. Ruhut tidak bisa berkelit dengan berlindung di balik kebebasan berpendapat karena dirinya koordinator juru bicara  partai yang bersifat melekat. 

Statemen Ruhut akan dianggap publik sebagai kebijakan partai. Sentilan sejumlah pentolan Partai Demokrat jika partainya belum menentukan dukungan kepada calon yang akan mengikuti pilkada DKI, bukan saja tidak lantas menghentikan statemen-statemennya, namun Ruhut justru semakin vokal dan kencang menyuarakan garis politiknya.

Hal ini tentu membuat gerah internal partai. Lobi-lobi yang tengah digalang, hampir semuanya menthok karena selalu “diintervensi” oleh pernyataan Ruhut. Kolega Ruhut di Demokrat kebingungan untuk membangun komunikasi dengan lawan dan kawannya. Contohnya pernyataan Ruhut terkait Koalisi Kekeluargaan yang sempat diamini oleh sejumlah pengurus Partai Demokrat. 

Meski semua paham koalisi itu hanya riak-riak di tingkat DPD/DPC, dan keputusan akhir tetap ada di tangan DPP, namun pernyataan Ruhut yang menyebut Koalisi Kekeluargaan sebagai “koalisi aneh” dan tanpa sepengetahuan SBY, dianggap sebagai bentuk intervensi Ruhut terhadap kebebasan pengurus di level bawah, tanpa melalui mekanisme partai. Bukankah seharusnya DPD diberi keleluasaan dulu untuk bergerak, lalu mengajukan ke DPP untuk mendapat persetujuan atau penolakan?

Pengurus DPD Demokrat semakin gerah karena pernyataan tersebut dibarengi dengan pernyataan dukungan Ruhut kepada Ahok. Artinya, apa pun yang akan dilakukan oleh DPD Demokrat akan selalu ‘salah’ di mata Ruhut sepanjang tidak sesuai dengan ‘seleranya’. Padahal, seperti yang diakui sendiri oleh Ruhut, Partai Demokrat belum memutuskan siapa yang akan dicalonkan dalam kontestasi Pilgub DKI.

Kedua, terkait pernyataan keras Ruhut terhadap penangkapan Putu Sudiartana oleh KPK. Ruhut dengan lantang mengatakan Putu ditangkap tangan, sementara partai masih mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. 

Jajaran pengurus Partai Demokrat masih mempertimbangkan untuk membela atau memecat Putu. Bahkan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Amir Syamsuddin menyerang KPK dengan mengatakan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Putu merupakan pernyataan paling lemah dalam sejarah OTT KPK.

Tidak disangka Ruhut malah langsung “membenarkan” aksi KPK dan mendorong agar Putu dipecat. Jika akhirnya Partai Demokrat memecatnya, tentu menimbulkan kegaduhan di internal karena sejumlah pengurus terasnya masih bersikukuh KPK telah melakukan “kesalahan” dalam OTT kepada kadernya. Dengan bahasa gamblang, Ruhut melawan ketua dewan pembina!

Dari situ setidaknya musuh Ruhut sudah terbaca yakni DPD PD DKI Jakarta dan ketua dewan pembina Partai Demokrat. Dari kedua kasus tersebut, posisi Ruhut berada di atas karena mendapat dukungan nitizen terkait Ahok dan perang melawan korupsi.

Bagaimana kasus ketiga? Pernyataan Ruhut yang mengganti “manusia” menjadi “monyet” dalam konteks hak asasi, jelas melukai banyak pihak, terutama keluarga besar Muhammadiyah karena pernyataan itu keluar saat Ruhut selaku anggota Komisi III DPR tengah melakukan rapat kerja dengan Kapolri (saat itu) Jenderal Pol Badrodin Haiti membahas kasus kematian terduga teroris Siyono saat ditangkap Densus 88 yang menurut Muhammadiyah banyak kejanggalan. Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah pun melaporkan Ruhut ke MKD. Setelah melalui serangkaian persidangan, Ruhut dijatuhi sanksi ringan karena terbukti melakukan pelanggaran etika seperti dikutip di sini.

Meski keputusan MKD belum diumumkan secara resmi, namun sudah diputuskan sehari sebelum adanya SMS penonaktifan Ruhut sehingga dipastikan hal itu sudah diketahui SBY.

Dari konstruksi ketiga kasus tersebut, yang paling akhir adalah sanksi dari MKD. Bisa jadi SBY gerah karena Ruhut identik dengan Partai Demokrat sehingga sanksi itu akan berdampak pada citra partai. Bagi SBY, citra partai dan dirinya, tidak boleh dikotori sedikit pun sehingga siapa pun yang melakukannya, akan diperlakukan dengan tidak hormat.

Nasib Ruhut di Demokrat akan ditentukan kemudian sambil menunggu respon masyarakat berkaitan dengan sanksi yang diterima Ruhut. Jika tidak terlalu bergejolak, dipastikan Ruhut akan aman, meski tidak lagi sebagai koordinator juru bicara. Namun jika ada gejolak yang berpotensi merugikan Demokrat, kemungkinan mantan politisi Partai Golkar itu akan didepak secara permanen dari mobil “Mercy” SBY.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun