Seharian ini publik digegerkan dengan berita penonaktifan Ruhut Sitompul dari jabatan Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat. Terlebih Ruhut dilengserkan hanya melalui short message service yang dikirim langsung dari Ketua Umum PD Susilo Bambang Yudhoyono. Apa sebenarnya dosa Ruhut sehingga diperlakukan begitu oleh partai yang selama beberapa tahun terakhir dibelanya?
Benarkah terkait dukungannya kepada petahana Basuki Tjahaja Purnama dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta? Ataukah karena pernyataan kerasnya terkait penangkapan Wakil Bendahara Umum PD I Putu Sudiartana oleh Komisi Pemberantasan Korupsi? Adakah hubungannya dengan vonis yang dijatuhkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait pernyataan kontroversialnya yang memelesetkan singkatan HAM yang seharusnya hak asasi manusia menjadi hak asasi monyet?
Selama ini SBY dikenal sebagai pemimpin yang perfeksionis, sangat memperhatikan penampilan dan tutur katanya. SBY sangat peduli pada etika dan selalu melakukan kajian mendalam sebelum mengambil keputusan. Sikap ini tidak jarang disalah-artikan oleh lawan-lawan politiknya karena dianggap peragu.
Sebagai jenderal purnawirawan, berpuluh tahun SBY digembleng tentang arti pentingnya menjaga persatuan dan kekompakkan. Meski memiliki kewenangan full- prerogatif, untuk mengangkat dan memberhentikan jajaran pengurus Partai Demokrat, SBY juga senantiasa menggunakan mekanisme partai secara- meminjam istilah SBY, tepat dan terukur tanpa ngasorake (mempermalu) pihak yang dipecat.
Dengan background seperti itu, tentu menimbulkan beragam spekulasi ketika SBY menonaktifkan Ruhut hanya melalui SMS. Sebab cara itu sangat merendahkan martabat Ruhut yang merupakan politisi senior dan memiliki popularitas tinggi. Terlebih saat ini Ruhut tengah berada “di pihak yang benar” menurut nitizen pro Ahok yang jumlahnya bejibun sehingga selalu memenuhi kolom-kolom komentar media online.
Jika dibaca dari SMS yang dikirim SBY, alasan utama pencopotan Ruhut adalah "tidak mengikuti kebijakan dan garis partai terutama Ketum PD karena pernyataan-pernyataan yang saudara keluarkan tidak mencerminkan posisi PD dan garis saya selaku Ketum PD" seperti dikutip di sini
Tentu saja alasan tersebut sangat bias karena banyak sekali pernyataan Ruhut. Pernyataan mana yang dimaksud tidak mengikuti kebijakan dan garis partai (baca: SBY)? Sebab seperti disebut di atas, setidaknya ada tiga pernyataan terbaru Ruhut yang menuai kontroversi. Mari kita telaah satu persatu-satu.
Sikap Ruhut mendukung Ahok tentu salah karena Partai Demokrat belum mengambil keputusan siapa yang akan diusung dalam kontestasi pilkada DKI Jakarta. Ruhut tidak bisa berkelit dengan berlindung di balik kebebasan berpendapat karena dirinya koordinator juru bicara partai yang bersifat melekat.
Statemen Ruhut akan dianggap publik sebagai kebijakan partai. Sentilan sejumlah pentolan Partai Demokrat jika partainya belum menentukan dukungan kepada calon yang akan mengikuti pilkada DKI, bukan saja tidak lantas menghentikan statemen-statemennya, namun Ruhut justru semakin vokal dan kencang menyuarakan garis politiknya.
Hal ini tentu membuat gerah internal partai. Lobi-lobi yang tengah digalang, hampir semuanya menthok karena selalu “diintervensi” oleh pernyataan Ruhut. Kolega Ruhut di Demokrat kebingungan untuk membangun komunikasi dengan lawan dan kawannya. Contohnya pernyataan Ruhut terkait Koalisi Kekeluargaan yang sempat diamini oleh sejumlah pengurus Partai Demokrat.
Meski semua paham koalisi itu hanya riak-riak di tingkat DPD/DPC, dan keputusan akhir tetap ada di tangan DPP, namun pernyataan Ruhut yang menyebut Koalisi Kekeluargaan sebagai “koalisi aneh” dan tanpa sepengetahuan SBY, dianggap sebagai bentuk intervensi Ruhut terhadap kebebasan pengurus di level bawah, tanpa melalui mekanisme partai. Bukankah seharusnya DPD diberi keleluasaan dulu untuk bergerak, lalu mengajukan ke DPP untuk mendapat persetujuan atau penolakan?