Pengurus DPD Demokrat semakin gerah karena pernyataan tersebut dibarengi dengan pernyataan dukungan Ruhut kepada Ahok. Artinya, apa pun yang akan dilakukan oleh DPD Demokrat akan selalu ‘salah’ di mata Ruhut sepanjang tidak sesuai dengan ‘seleranya’. Padahal, seperti yang diakui sendiri oleh Ruhut, Partai Demokrat belum memutuskan siapa yang akan dicalonkan dalam kontestasi Pilgub DKI.
Kedua, terkait pernyataan keras Ruhut terhadap penangkapan Putu Sudiartana oleh KPK. Ruhut dengan lantang mengatakan Putu ditangkap tangan, sementara partai masih mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Jajaran pengurus Partai Demokrat masih mempertimbangkan untuk membela atau memecat Putu. Bahkan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Amir Syamsuddin menyerang KPK dengan mengatakan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Putu merupakan pernyataan paling lemah dalam sejarah OTT KPK.
Tidak disangka Ruhut malah langsung “membenarkan” aksi KPK dan mendorong agar Putu dipecat. Jika akhirnya Partai Demokrat memecatnya, tentu menimbulkan kegaduhan di internal karena sejumlah pengurus terasnya masih bersikukuh KPK telah melakukan “kesalahan” dalam OTT kepada kadernya. Dengan bahasa gamblang, Ruhut melawan ketua dewan pembina!
Dari situ setidaknya musuh Ruhut sudah terbaca yakni DPD PD DKI Jakarta dan ketua dewan pembina Partai Demokrat. Dari kedua kasus tersebut, posisi Ruhut berada di atas karena mendapat dukungan nitizen terkait Ahok dan perang melawan korupsi.
Bagaimana kasus ketiga? Pernyataan Ruhut yang mengganti “manusia” menjadi “monyet” dalam konteks hak asasi, jelas melukai banyak pihak, terutama keluarga besar Muhammadiyah karena pernyataan itu keluar saat Ruhut selaku anggota Komisi III DPR tengah melakukan rapat kerja dengan Kapolri (saat itu) Jenderal Pol Badrodin Haiti membahas kasus kematian terduga teroris Siyono saat ditangkap Densus 88 yang menurut Muhammadiyah banyak kejanggalan. Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah pun melaporkan Ruhut ke MKD. Setelah melalui serangkaian persidangan, Ruhut dijatuhi sanksi ringan karena terbukti melakukan pelanggaran etika seperti dikutip di sini.
Meski keputusan MKD belum diumumkan secara resmi, namun sudah diputuskan sehari sebelum adanya SMS penonaktifan Ruhut sehingga dipastikan hal itu sudah diketahui SBY.
Dari konstruksi ketiga kasus tersebut, yang paling akhir adalah sanksi dari MKD. Bisa jadi SBY gerah karena Ruhut identik dengan Partai Demokrat sehingga sanksi itu akan berdampak pada citra partai. Bagi SBY, citra partai dan dirinya, tidak boleh dikotori sedikit pun sehingga siapa pun yang melakukannya, akan diperlakukan dengan tidak hormat.
Nasib Ruhut di Demokrat akan ditentukan kemudian sambil menunggu respon masyarakat berkaitan dengan sanksi yang diterima Ruhut. Jika tidak terlalu bergejolak, dipastikan Ruhut akan aman, meski tidak lagi sebagai koordinator juru bicara. Namun jika ada gejolak yang berpotensi merugikan Demokrat, kemungkinan mantan politisi Partai Golkar itu akan didepak secara permanen dari mobil “Mercy” SBY.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H