Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Kawin Sama Orang Sunda

8 Januari 2016   14:25 Diperbarui: 11 Januari 2016   00:19 4268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun Gajah Mada yang sejak awal sudah tidak menyetujui cara-cara yang ditempuh Hayam Wuruk dalam kaitannya dengan pernikahan itu, marah besar. Sebab, jika pernikahan itu terjadi, maka posisi Kerajaan Majapahit dan Sunda menjadi sejajar (setara). Hal itu tentu menghambat Gajah Mada mewujudkan Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Terlebih saat itu hanya Kerajaan Sunda yang belum ditaklukkan.

Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk agar membatalkan perkawinan itu kecuali Dyah Pitaloka diserahkan secara sukarela sebagai tanda takluk dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda. Hayam Wuruk sendiri bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih handal dan memiliki pengaruh kuat di seantero negeri jajahan Majapahit.

Belum juga Hayam Wuruk memberi jawaban, Gajah Mada sudah menemui rombongan Kerajaan Sunda dan memaksanya agar perkawinan yang akan dilangsungkan dianggap sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Tentu saja Maharaja Linggabuana menolak permintaan Gajah Mada dan memaki-makinya.

Gajah Mada kemudian mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat. Demi mempertahankan kehormatannya Maharaja Linggabuana pun melakukan perlawanan. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukan Maharaja Linggabuana. Bisa ditebak, akhirnya Maharaja Linggabuana, kerabat dan pasukannya gugur. Putri Dyah Pitaloka yang menolak dijadikan pampasan perang, melakukan harakiri diikuti dayang-dayangnya.

Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua Negara. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala. Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan.

Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya di antaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa. Tidak heran jika sampai hari ini tidak ada jalan di Provinsi Jawa Barat yang menggunakan nama Gajah Mada.

Sikap itu kemudian dibalas oleh orang-orang Jawa- terutama para  pengagum Gajah Mada, dengan mengeluarkan larangan serupa. Bedanya larangan itu hanya beredar dari mulut ke mulut (tutur tinular) seperti yang aku kisahkan di awal tulisan.

Jadi alasan cewek Sunda pemalas, tidak mau hidup susah (memangnya ada cewek Batak, Menado atau Jawa yang mau diajak hidup susah? Kalau pun mau, mungkin karena terpaksa hehe...) hanya kedok untuk menutupi hal yang sesungguhnya yakni tragedi ratusan tahun lampau.

Lalu apa hubungannya dengan Menko Polhukam?

Dalam beberapa hari terakhir Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan mengaku tengah merumuskan konsep penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu melalui jalur non-yudisial ( di luar pengadilan). Tujuannya agar gernerasi mendatang tidak lagi dibebani ‘dosa’ masa lalu. Penyelesaian melalui jalur non yudisial dipilih karena dalam kasus pelanggaran kasus HAM berat tersebut tidak ada alat bukti yang bisa digunakan dan para pelaku utama pelanggaran HAM berat sudah banyak yang meninggal dunia.Terkait peristiwa imbas Gerakan 30 September yang menewaskan banyak orang, menurut Luhut, pihaknya tengah menyusun ungkapan yang akan disampaikan pemerintah secara resmi. Namun dalam ungkapan tersebut tidak ada permintaan maaf.

Boleh-boleh saja pemerintah melakukan upaya untuk menutup pelanggaran HAM masa lalu. Namun apakah penyelesaian model itu tidak akan menimbulkan masalah baru? Bukankah ungkapan- dengan meminta maaf atau tidak, tetap akan menimbulkan kontroversi? Mengapa pemerintah gemar sekali membuat hal-hal yang berpotensi untuk menimbulkan kegaduhan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun