Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Kawin Sama Orang Sunda

8 Januari 2016   14:25 Diperbarui: 11 Januari 2016   00:19 4268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

*Catatan Kecil untuk Menko Polhukam

Ketika aku mulai beranjak dewasa, ibu memberi nasehat yang sangat mengejutkan: jangan kawin sama orang Sunda!

Tetapi ibu tidak pernah mau memberitahu mengapa melarangku kawin dengan cewek Sunda (aku yakin beliau tidak punya alasan yang kuat). Herannya lagi, ibu sama sekali tidak pernah melarangku untuk kawin (menikah) dengan orang Batak, Dayak atau bule sekalian. Untuk yang satu ini barangkali ibu berpikir aku tidak mungkin memiliki teman (bergaul) dengan orang Batak, Dayak apalagi bule. Sementara dengan orang Sunda, kami tetanggaan. Ya, saat itu aku tinggal di Cilacap di mana penduduk Cilacap bagian Timur mayoritas dihuni  etnis Jawa, sementara Cilacap bagian Barat yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat, didiami warga etnis Sunda.

Ketika aku mencari tahu jawabannya dengan bertanya kepada tetua Jawa, aku mendapati jawaban yang lebih ngenes lagi. Katanya cewek Sunda pemalas, tidak setia sehingga mustahil mau hidup susah.  Dari mereka juga aku tahu, ternyata bukan hanya laki-laki Jawa yang dilarang kawin dengan cewek Sunda, namun perempuan Jawa pun dilarang menikah dengan laki-laki Sunda. Ada apa? Aku terus bertanya-tanya tanpa pernah tahu jawabannya. Maklum saat itu- sekitar awal 1990- belum ada Mbah Gugel.

Setelah dewasa, aku pun bergaul dengan teman-teman dari etnis Sunda baik laki-laki maupun perempuan. Saat itu aku sebenarnya sudah lupa dengan pesan ibu. Namun tanpa disangka, di kalangan masyarakat Sunda juga ada aturan tak tertulis yang melarang (pamali) mereka kawin dengan orang Jawa!

Bagi kami- aku dan teman Sunda-ku, hal semacam itu hanya lelucon. Buktinya banyak perkawinan antara orang Jawa dengan orang Sunda dan mereka baik-baik saja. Namun tetap saja, aku tergelitik untuk mengetahui alasannya mengapa kedua etnis besar di tanah Jawa ini saling membuat larangan pernikahan di antara mereka. Sampai akhirnya aku tahu semua itu bermula dari tragedi berdarah yang menggagalkan perkawinan agung antara Raja Majapahit Hayam Wuruk dengan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Sunda.

Penyerbuan pasukan Bhayangkara pimpinan Mahapatih Gajah Mada terhadap rombongan pengantin dari Sunda di Lapangan Desa Bubat, menimbulkan luka yang sangat mendalam bukan hanya dari pihak Sunda yang harus kehilangan hampir seluruh petinggi kerajaannya, termasuk Dyah Pitaloka yang melakukan harakiri, namun juga bagi orang Jawa.  

Mengapa begitu? Berikut aku nukilkan sedikit kisahnya:

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk untuk memperistri Dyah Pitaloka. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Selain itu, Hayam Wuruk juga ingin mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, di antaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Namun Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua kerajaan tersebut. Raja Sunda itu datang ke Majapahit beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka serta diiringi sejumlah prajurit pilihan. Rombongan kemudian diinapkan di pesanggarahan Desa Bubat sambil menunggu prosesi pernikahan.

Namun Gajah Mada yang sejak awal sudah tidak menyetujui cara-cara yang ditempuh Hayam Wuruk dalam kaitannya dengan pernikahan itu, marah besar. Sebab, jika pernikahan itu terjadi, maka posisi Kerajaan Majapahit dan Sunda menjadi sejajar (setara). Hal itu tentu menghambat Gajah Mada mewujudkan Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Terlebih saat itu hanya Kerajaan Sunda yang belum ditaklukkan.

Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk agar membatalkan perkawinan itu kecuali Dyah Pitaloka diserahkan secara sukarela sebagai tanda takluk dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda. Hayam Wuruk sendiri bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih handal dan memiliki pengaruh kuat di seantero negeri jajahan Majapahit.

Belum juga Hayam Wuruk memberi jawaban, Gajah Mada sudah menemui rombongan Kerajaan Sunda dan memaksanya agar perkawinan yang akan dilangsungkan dianggap sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Tentu saja Maharaja Linggabuana menolak permintaan Gajah Mada dan memaki-makinya.

Gajah Mada kemudian mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat. Demi mempertahankan kehormatannya Maharaja Linggabuana pun melakukan perlawanan. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukan Maharaja Linggabuana. Bisa ditebak, akhirnya Maharaja Linggabuana, kerabat dan pasukannya gugur. Putri Dyah Pitaloka yang menolak dijadikan pampasan perang, melakukan harakiri diikuti dayang-dayangnya.

Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua Negara. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala. Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan.

Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya di antaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa. Tidak heran jika sampai hari ini tidak ada jalan di Provinsi Jawa Barat yang menggunakan nama Gajah Mada.

Sikap itu kemudian dibalas oleh orang-orang Jawa- terutama para  pengagum Gajah Mada, dengan mengeluarkan larangan serupa. Bedanya larangan itu hanya beredar dari mulut ke mulut (tutur tinular) seperti yang aku kisahkan di awal tulisan.

Jadi alasan cewek Sunda pemalas, tidak mau hidup susah (memangnya ada cewek Batak, Menado atau Jawa yang mau diajak hidup susah? Kalau pun mau, mungkin karena terpaksa hehe...) hanya kedok untuk menutupi hal yang sesungguhnya yakni tragedi ratusan tahun lampau.

Lalu apa hubungannya dengan Menko Polhukam?

Dalam beberapa hari terakhir Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan mengaku tengah merumuskan konsep penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu melalui jalur non-yudisial ( di luar pengadilan). Tujuannya agar gernerasi mendatang tidak lagi dibebani ‘dosa’ masa lalu. Penyelesaian melalui jalur non yudisial dipilih karena dalam kasus pelanggaran kasus HAM berat tersebut tidak ada alat bukti yang bisa digunakan dan para pelaku utama pelanggaran HAM berat sudah banyak yang meninggal dunia.Terkait peristiwa imbas Gerakan 30 September yang menewaskan banyak orang, menurut Luhut, pihaknya tengah menyusun ungkapan yang akan disampaikan pemerintah secara resmi. Namun dalam ungkapan tersebut tidak ada permintaan maaf.

Boleh-boleh saja pemerintah melakukan upaya untuk menutup pelanggaran HAM masa lalu. Namun apakah penyelesaian model itu tidak akan menimbulkan masalah baru? Bukankah ungkapan- dengan meminta maaf atau tidak, tetap akan menimbulkan kontroversi? Mengapa pemerintah gemar sekali membuat hal-hal yang berpotensi untuk menimbulkan kegaduhan?

Jika ingin menyelesaikan seluruh peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, apakah pemerintah juga sudah merumuskan ungkapan untuk menyelesaikan ‘perselisihan’ antara etnis Jawa dengan Sunda terkait peristiwa Bubat? Juga peristiwa-peristiwa lain yang terjadi  di masa lampau namun jejaknya masih diwariskan hingga saat ini? Apakah perlu peristiwa Bubat dimasukkan dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu? Bukahkan saat peristiwa Bubat terjadi, Indonesia belum berdiri? Benar, saat itu belum ada Indonesia. Namun dalam sejarah perjalanan kelahiran Indonesia, Majapahit tidak bisa dilepaskan. Dan yang paling penting, peristiwa Bubat masih menyisakan ‘luka’ bagi sebagian orang Jawa dan juga Sunda.  

Jika penyelesaian peristiwa Bubat dianggap mubazir- tidak perlu, maka ungkapan pemerintah terkait G30S juga tidak perlu. Pengungkapan kebenaran peristiwa G30S- juga Bubat, sama-sama berpotensi menimbulkan gejolak yang luar biasa dan pada akhirnya tidak ada pihak yang bisa diminta pertanggungjawaban karena aktor-aktor utamanya sudah meninggal dunia. Artinya, penyelesaian yang ingin dilakukan pemerintah hanya pepesan kosong!

Mari kita kenali sejarah masa lampau, dengan segala pernak-perniknya sebagai pembelajaran, bukan untuk dicari mana pihak yang benar dan mana yang salah. Bukan untuk balas dendam. Pemerintah tidak perlu meluruskan, mendalilkan, apalagi memberi penilaian yang berpotensi ‘berpihak’ pada kelompok tertentu sehingga akan menimbulkan gejolak sosial.

Fokus saja pada penguatan ekonomi menghadapi globalisasi agar kita tidak hanya menjadi pasar bagi bangsa lain, pemberantasan korupsi agar uang negara benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat dan merangkul semua kekuatan yang ada untuk membesarkan bangsa ini melalui bidang masing-masing. Tidak usah terjebak pada manuver LSM tertentu yang tengah mencari panggung untuk mengais rejeki dari penderitaan orang lain.

 

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun