Yang pertama, All of Us Are Dead adalah sebuah serial zombie apocalypse yang konfliknya terasa dekat dengan keseharian kita. Tidak seperti franchise Resident Evil-nya Milla Jovovich yang terasa futuristik, Kingdom dan Overlord yang terasa unsur fantasinya dalam balutan historical fiction-nya atau I Am Legend-nya Will Smith dan The Walking Dead yang terasa apokaliptik.
All of Us Are Dead jadi terasa relevan karena konflik terjadi di masa kini dengan area konfliknya yang terasa sederhana yaitu di gedung sekolah dan lingkungan di sekitarnya.Â
Kesederhanaan inilah yang juga membuat Train To Busan dan World War Z menjadi favorit banyak orang karena menawarkan gambaran sebuah kejadian yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Karena Train to Busan terjadi di transportasi publik dan World War Z mengawalinya di tengah kondisi perkotaan besar yang padat.
Yang kedua, All of Us Are Dead menggunakan jenis zombie "runner" yang bisa berlari dan menyerang dengan cepat alih-alih zombie "walker" yang berjalan lambat layaknya film-film zombie klasik. Hal ini selain membuatnya terasa modern sekaligus membuat element of surprisenya lebih terasa.
Zombie runner membuat berbagai adegan aksi juga bisa dimaksimalkan berkat berbagai koreografi pertarungan jarak dekat dan cepat yang seru dan mendebarkan. Dan sensitifitas zombie terhadap suara semakin membuat terornya terasa mencekam.
Yang ketiga, serial ini nyatanya masih memberikan ruang yang cukup untuk pengembangan karakter-karakternya. Sehingga walaupun jumlahnya banyak, masing-masing karakter terasa unik dan memiliki diferensiasi yang jelas. Ditambah masing-masing karakter baik itu antagonis maupun protagonis juga berhasil membuat kita peduli walaupun tak semuanya mendapatkan porsi yang sama dalam penceritaan latar belakangnya.
Sehingga ketika datang momen kematian sosok yang kita sukai atau idolai akan terasa mengecewakan dan menyesakkan. Begitu juga sebaliknya, ketika sosok antagonis yang menemui ajalnya maka perasaan puas pun akan muncul.