Bukan hanya berjuang untuk memperbaiki tim yang tidak ada motivasi tersebut, namun juga berjuang untuk menahan ego dan luapan emosinya yang kadang sulit untuk dikendalikan.
Formulaic Namun dengan Kadar yang Lebih Gelap
Secara cerita bisa dibilang The Way Back cukup formulaic, di mana nampak tidak memiliki perbedaan dengan sports drama sejenis. Masih tentang tim yang tidak ada motivasi, kehilangan era keemasannya, dan tentang pelatih yang pada awalnya tidak dipercaya akan kemampuan dan kapasitasnya.
Bahkan secara sinematografi pun tak ada yang spesial. Sangat mirip dengan drama olahraga sejenis.
Gavin bersama penulis skenario Brad Ingelsby (Out of Furnace, Run All Night) justru fokus pada sosok Jack Cunningham dan usahanya melepas ketergantungannya pada alkohol serta menahan amarahnya, dengan sports drama menjadi pelengkapnya.
Itulah yang lantas membuat film ini jauh lebih gelap dibanding film bergenre sports drama lainnya. Pusat cerita memang ditumpukan kepada sosok Jack Cunningham, dengan berbagai konflik di masa kepelatihan basketnya difungsikan sebagai kendaraan yang mengantarnya kepada berbagai momen penentu bagi dirinya untuk menuju jalan pulang yang sesungguhnya.
Brandon Wilson dan Melvin Gregg sebagai pebasket yang dilatihnya, hingga Janina Gavankar yang apik berperan sebagai mantan istrinya, tetap bersinar seorang diri di sini. Membuat Ben Affleck layaknya one man show yang terus mendapatkan lampu sorot panggung tanpa tergantikan sedikitpun.
Bahkan menurut penulis, The Way Back menjadi film dengan penampilan terbaiknya setelah Argo dan Gone Girl. Ben jelas mencuri perhatian dengan penampilannya yang begitu meyakinkan sebagai alkoholik yang rapuh, memilih untuk berduka tanpa henti, serta selalu meluapkan emosinya melalui makian kepada wasit dan tim lawan dari pinggir lapangan.