"Eh, siapa tuh, Bu Lik ya?" tanyaku pada si sumber suara.
-Aku memang memanggil tetanggaku dengan sebutan Bu Lik yang juga berarti tante karena beberapa alasan. Yang pertama dia orang Jawa dan yang kedua usianya lebih muda dari ibuku. Maka sebutan itulah yang lantas disematkan keluargaku, yang akhirnya juga diikuti tetanggaku yang lain.-
Namun sumber suara itu tak bergeming. Hanya diam dan sesekali menggoyangkan badannya secara kaku. Bergerak lesu dalam balutan kain putih yang nampak lusuh dan kotor seperti terkena noda tanah.
Karena tak menjawab pertanyaanku, aku pun lantas berpikir Bu Lik hanya iseng menggodaku saat itu. Aku pun hanya menggelengkan kepala tanda heran untuk kemudian berjalan menuju kamar atas dan bersiap untuk membuka pintu. Sampai sosok itu bersuara kembali.
"Sst!" si sumber suara itu lagi-lagi seperti memanggilku. Namun kali ini dengan suara yang lebih kencang namun dengan nuansa yang lebih lirih, seperti sedang kesakitan.
"Ya Bu Lik, ada apa toh sat set sat set aja daritadi?" jawabku mulai kesal.
"Bu Lik? Itu Bu Lik kan?"kembali aku bertanya untuk memastikan karena lagi-lagi tak ada jawaban.
Si sumber suara tetap diam. Lagi-lagi tak menjawabku. Hingga kemudian aku keluarkan kacamataku dari kantong celana dan segera aku kenakan.
Namun apa yang kulihat setelah aku mengenakan kacamata benar-benar membuatku tertegun saat itu. Setidaknya beberapa detik aku terdiam, tertuju pada si sumber suara dan tak bisa menggerakkan tubuhku. Jelas, itu bukan Bu Lik yang aku kenal.
Bu Lik yang aku kenal memiliki tubuh yang lebih gempal, rambut sebahu dan senang menggunakan daster motif bunga-bunga berbagai warna. Namun yang kulihat saat itu sangat jauh berbeda.
Sosok itu berambut panjang, yang panjang rambutnya mungkin hingga sepinggang. Menutupi wajahnya yang tak pernah aku tahu seperti apa bentuknya. Tubuhnya kurus bahkan sangat tinggi, lengkap dengan kain putih panjang lusuh dengan bercak kecoklatan seperti terkena tanah basah.