Di waktu macet menulis, biasanya aku beranjak sejenak dari singgasana menulis. Aku tinggalkan lalu berjalan keluar rumah sekedar melihat memantau situasi. Atau sekedar menghela napas di bawah pohon yang ada di halaman. Bisa juga menyiangi dan menyiram tanaman jika pas waktunya, pagi atau sore hari.
Terkadang juga aku mengambil dan/atau membuat minuman. Apakah itu minuman dingin atau panas. Tetapi lebih sering minuman panas daripada dingin demi mencegah dan/atau menghalau virus di lorong kerongkongan.
Itulah tiga kegiatan yang biasa kulakukan kala nalar dan rasa karam berkarya. Semua kegiatan itu hanya sebagai pemicu atau pemantik pengumpul ide saja. Maka bila sudah rileks dan dorongan untuk kembali menulis datang, aku menuju tempat menulis. Lalu melanjutselesaikan tulisan yang tertunda hingga rampung.
Ruang dan waktu jeda yang kumasuki saat macet menulis tidak hanya sekali. Bisa berkali-kali tergantung tingkat kesulitan tema yang sedang dibedah ditulis. Oleh karena itu, bukan soal berapa kali rehatnya, tapi rampungnya tulisan yang harus menjadi perhatian.
Maka teruslah menulis. Biarkan nalar, rasa dan raga menulis apa saja sesuai selera dan iramanya. Tapi sekiranya ia butuh jeda, rehatlah agar ada ruang baginya mendapatkan strategi baru. Strategi untuk menuntaskan karyanya yang masih tersendat.
Tabe!Â
Tilong-Kupang, NTT
Sabtu, 25 September 2021 (13.23 wita)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H