Kali ini aku pulang dengan hati sumringah. Kehadiran Bu Sriti terbukti berhasil meningkatkan minat belajar seisi kelas. Hal ini makin mempertegas jika siswa akan menyerap pelajaran dengan cepat apabila hatinya senang dan yang mengajarnya juga menyenangkan.
Sepeda ontel tua yang kukayuh berderik keras sesuai irama putaran pedal. Sore ini tak terlalu ramai. Aku pun memutuskan lewat jalan jembatan saja. Setelah yakin aman untuk menyeberang, kukayuh sepeda sekuat mungkin. Ketika hampir menaiki jembatan tiba-tiba saja aku terjatuh dengan keras ke aspal. Dan mendadak semua jadi gelap ....
Kemudian aku merasakan pusing di kepala. Aku yakin pasti ini pengaruh dari lapar. Samar-samar terdengar suara orang mengobrol. Kupaksa mata ini terbuka. Di sekelilingku berwarna putih semua. Lalu kudengar suara yang tak asing itu ....
"Bapaknya sudah saya hubungi. Sebentar lagi pasti datang, Pak ...."
Suara-suara itu kemudian menghilang seiring kesadaranku yang pulih. Aku berada di bangsal rumah sakit. Astaga, apa yang terjadi?
"Pian, Pian, Kamu tidak apa-apa kan, Nak?" Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh tinggi kurus menerobos masuk. Wajahnya begitu khawatir.
"Bapak ..." Panggilku lirih. Setelah itu aku jatuh pingsan lagi.
***
Dua hari kemudian, setelah pulang ke rumah baru aku mendapat cerita versi lengkapnya. Rupanya si besi tua terbelah dua karena usia di saat aku menyeberang. Dahi dan tubuhku membentur aspal dengan keras hingga pingsan. Beruntung jalanan sepi. Aku ditolong Pak Supri yang juga pulang melewati jalan yang sama.
Pak Supri membawaku ke rumah sakit terdekat. Semua biaya berobat ditanggungnya. Pegawai rumah sakit tak bisa menyembunyikan cerita indah seperti ini. Itu alasannya membocorkan semua rahasia Pak Supri yang sudah wanti-wanti padanya. Sepeda ontel tuaku yang terbelah langsung diboyong ke bengkel sepeda. Anehnya, bengkelnya berada tepat di seberang jalan tempatku terjatuh. Katanya lagi Pak Supri memberi perintah agar sepedanya diperbaiki.
"Kamu beruntung, Pian, punya guru sebaik Pak Supri."