Seperti yang sudah-sudah, perjalanan kali ini pun tidak direncanakan alias spontan. Delapan bulan sudah saya berada di kota pahlawan, dan masih tetap bertanya akan akhir dari semua cerita.Â
Dua tahun di perantauan membuat saya memahami dan mempelajari banyak hal. Bahwa ternyata begitu banyak kebohongan yang diselimuti kebaikan.Â
Banyak kejahatan yang berkedok ketulusan. Dan lebih banyak lagi penjahat yang berkedok teman. Setiap perjalanan baru yang saya lakukan sebenarnya sebagai pelampiasan rasa lelah dan kecewa pada kehidupan.Â
Apakah ini berarti saya masih tengah mencari hal dan tempat baru dengan harapan memiliki kehidupan lebih baik? Saya rasa tidak. Karena sebenarnya saya telah lama berhenti berpetualangan.Â
Saat ini, perjalanan yang tengah saya tapaki ini hanyalah sekadar pengisi hari-hari di dunia saja. Karena hati saya telah menemukan pemberhentian.Â
Sebuah tanda marka yang sedari dulu telah saya miliki. Di sini di rambu-rambu bertuliskan "stop", saya berlabuh di keimanan yang takkan mungkin tergadai oleh apapun juga.
Jembatan Suramadu
Di sebuah pagi yang lalu entah kenapa saya ingin menyeberangi lautan. Kebetulan tempat tinggal saya di Surabaya tidak jauh letaknya dari jembatan ini apabila memakai kendaraan pribadi.Â
Sebenarnya sudah lama penasaran dengan kemegahan jembatan yang satu ini. Dan makin penasaran dengan Pulau Madura. Seperti apa orang sana itu, kulinernya khasnya apa, cuacanya bagaimana, daerahnya seperti bagaimana, dan banyak pertanyaan lainnya.Â
Tentunya tidak banyak yang dapat diekplorasi dalam waktu setengah hari. Namun, pengalaman menyeberangi Jembatan Suramadu saja sudah dapat membawa kepuasan tersendiri.Â
Bukan tentang traveling-nya, tapi lebih menuju ke arah kesadaran diri. Bahwa ternyata bumi itu terlalu luas untuk ditapaki sendiri. Dan perjalanan ini takkan pernah berhenti apabila terus berkonotasi pada kepuasan membuktikan diri.Â
Karena dari awal saya hijrah tak ada tujuan membuktikan diri hebat, tapi lebih kepada membuang diri demi kebahagiaan yang ditinggalkan.
Jembatan Suramadu ternyata sangat luar biasa! Saya sangat terpesona. Diawali pemandangan indah di sisi kiri  jembatan berupa kelompok perahu nelayan yang mengapung anggun, lalu lautan di sisi kanan dengan pemandangan kota Surabaya di tepiannya.Â
Berbekal hape seadanya, saya berusaha melawan angin kencang agar dapat mengabadikan momen menyeberangi jembatan ini. Jalan yang saya lalui merupakan jalur khusus untuk sepeda motor, that's amazing!Â
Saya baru menyadarinya setelah melihat sisi kanan luar jembatan yang juga hanya dilalui sepeda motor. Sedangkan jalur untuk mobil berada di jalan yang lebih besar. Awalnya saya kira mobil dan motor akan berada di jalur yang sama seperti pada umumnya.Â
Setelah lewat dari 5 menit perjalanan saya mulai merasa jembatan ini sangat panjang. Rasanya lama sekali baru motor bisa mencapai dua menara jembatan yang menawan.Â
Spontan insting saya sebagai content creator pun tergerak. Walaupun pandangan terhalang cahaya matahari yang silau, saya berusaha menangkap keindahan menara jembatan menggunakan perasaan.Â
Padahal waktu itu kondisi kamera hape juga gelap karena backlight, tapi untung hasilnya tidak mengecewakan. Proses ini mengingatkan saya akan proses hijrah selama ini.Â
Begitu panjang jalan yang harus saya lalui hingga sering bertanya-tanya dimana ujungnya. Betapa sering saya ragu melangkah karena ketidakpastian arah, karena tidak ada bayangan akan harapan di masa depan.
Hanya insting saya sebagai seorang hamba yang membuat tetap dapat bergerak dan tidak berputus asa. Sebuah keyakinan akan adanya kekuatan besar di luar sana yang melindungi diri saya. Dan saya yakin hasilnya pun akan seperti rekaman video ini, indah seperti yang diharapkan.
Di Tepian Bangkalan
Akhirnya saya tiba di kabupaten Bangkalan setelah menyeberangi jembatan terpanjang di Indonesia ini sejauh 5.438 m.Â
Lumayan juga ternyata jaraknya ternyata, tapi setimpal dengan pemandangan sepanjang jembatan yang tidak ada duanya. Kemarin saya sempat melihat boat juga yang melintas di bawah jembatan.Â
Terus air lautnya juga terlihat seperti dua warna dari atas jembatan itu. Pokoknya indah sekali. Pemandangan setelah turun dari jembatan membuat saya lebih tercengang lagi.
 Di sisi kanan jalan yang saya lalui banyak terdapat toko oleh-oleh. Dan uniknya, modelnya itu mirip toko oleh-oleh di Jawa Barat.Â
Berupa deretan kios sederhana dengan barang-barang jualan yang dipajang di rak, juga ada yang digantung. Saya jadi teringat daerah Padalarang dan Tagog Apu begitu melihat deretan kios-kios itu.
Setelah istirahat sebentar di sebuah mini market, lalu dilanjut membeli camilan tahu di pinggir jalan. Tahunya ditambahi bumbu petis selain lombok. Katanya petis Madura terkenal enak, dan nyatanya rasanya memang lebih terasa lekat di lidah dibanding petis yang ada di Kediri ataupun Surabaya.Â
Kemudian perjalanan dilanjut dengan mengisi bensin di pom. Selama di pom bensin saya banyak mengamati gestur dari orang-orang yang lalu lalang. Memang setiap daerah itu memiliki ciri khasnya masing-masing.Â
Karena di awal niatnya memang hanya menyeberang jembatan saja, jadinya dari pom bensin saya pun berputar balik ke arah Surabaya. Cuaca di Madura kemarin itu tidak sepanas di Surabaya. Udaranya juga terasa bersih dan ringan di paru-paru.
Jujur saya sempat tergoda untuk turun dan membeli oleh-oleh. Terlebih ketika saya lihat ada camilan mirip kembang goyang khas Jawa Barat. Atau itu memang kembang goyang?Â
Saya lihat banyak juga jenis kerupuk lainnya yang digantung di toko oleh-oleh. Hampir mirip dengan yang ada di Kediri dan Bandung. Apakah hal ini ada hubungannya dengan Medang Kamulan dan Sumur Bandung? Seolah-olah ketiga kota ini memang bersaudara berdasarkan sejarah kerajaan saja.Â
Ah, saya mulai ngelantur, terpengaruh kesukaan saya pada sejarah. Nyatanya, saya rasa ini merupakan pertanda akan adanya sebuah titik balik awal. Tentang hijrah diri.
Di tepian Bangkalan, sepanjang jalan pulang ke Surabaya kesadaran saya makin dalam. Bahagia itu ada, bahagia itu diciptakan bukan dicari. Cinta itu ada, cinta itu diberi Tuhan bukan diciptakan manusia. Harapan itu selalu ada meski di tempat tergelap sekalipun.Â
Berusaha itu harus, tapi jangan terlalu keras, karena Allah yang mengurus kita. Seperti halnya saya, sendirian di perantauan semakin membuat saya tumbuh jadi pribadi yang keras.Â
Berusaha tegas pada diri sendiri, bahkan melupakan lelah serta tak mau bersedih. Saya hampir terkecoh dengan kata mandiri, dan lupa jika tangan Allah yang paling banyak membantu. Mengapa saya mesti memaksakan diri begitu keras? Mengapa tidak berjalan seperti apa maunya Allah saja?
Di perjalanan kali ini saya makin sadar akan arti memasrahkan diri. Berubah menjadi diri yang bergerak lebih perlahan dan terperinci saja kini, seperti apa maunya Allah.Â
Seringkali kepergian itu merupakan awal dari perjalanan pulang yang sebenarnya. Tentang hijrah diri dengan berpasrah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H