Mohon tunggu...
Yolanda FriskaNurjayanti
Yolanda FriskaNurjayanti Mohon Tunggu... Lainnya - UNIVERSITAS RADEN MAS SAID SURAKARTA

Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Raden Mas Said Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Mengenai Pendekatan Sosiologis dan Alasan Mengapa Positivme Law Itu Muncul?

11 Desember 2022   09:25 Diperbarui: 11 Desember 2022   09:32 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila hati nuraninya berbicara lain pada UU tersebut. Nah hal ini sudah termasuk menganut ajaran hukum progresif, dimana harus mementingkan skala profesi kepada keadilan dan kebenaran. Salah satu ciri dari progresif ini yaitu dimana hakim berpegang teguh pada kesetiaan peraturan, perbaikannya dan harmoni sosial. Hal ini di dasari oleh aliran Interessenjurisprudenceb

Keadilan sosial sebenarnya bukan studi yang sama sekali baru. Kursus interdisipliner ini adalah "hibrida" dari kursus sebelumnya dalam hukum dan hukum dari perspektif sosial. Kebutuhan untuk menjelaskan masalah hukum dengan cara teoritis yang lebih bermakna mendorong penelitian ini. 

Pada saat yang sama, penelitian ini juga diperlukan dalam praktik untuk menjelaskan bagaimana hukum bekerja dalam kehidupan sehari-hari warga negara. Terutama kegagalan gerakan sayap kanan di banyak negara berkembang (Carothers, 2006) menunjukkan bahwa dalam konteks tertentu, baik teoretis maupun praktis, studi hukum arus utama tidak mampu menjawab berbagai persoalan hukum yang berkaitan dengan orang-orang yang terpinggirkan. Banyak masalah sosial yang sangat kompleks dan tidak dapat dijawab secara tekstual dan unidisipliner, dan dalam situasi seperti itu penjelasan yang lebih mendasar dan mendalam dapat diperoleh melalui pendekatan interdisipliner. 

Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan hukum yang dapat menjelaskan hubungan antara hukum dan masyarakat. Hukum memiliki banyak wajah, sehingga tidak ada kesepakatan di antara para ahli (hukum) tentang maknanya. Secara umum, hukum diartikan sebagai seperangkat kode etik yang mengatur dan menegakkan masyarakat serta mengatur penyelesaian sengketa (Otto, 2007:

14-15). Dalam arti terbatas, hukum selalu mengacu pada hukum negara (peradilan sentralisme).

Namun, antropolog hukum melihat hukum dari perspektif yang lebih luas yang mencakup tidak hanya hukum negara tetapi juga sistem norma di luar negara dan semua proses dan aktor di dalamnya. Yang penting, berdasarkan definisi di atas, hukum tidak hanya memuat konsep-konsep normatif:

Hal-hal yang dilarang dan diperbolehkan:

tetapi juga mencakup konsep kognitif. Pada tataran normatif, "mencuri", "membunuh", "korupsi" dilarang oleh hukum negara, agama, adat dan kebiasaan. Tetapi pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan mencuri, membunuh, dan korupsi dapat bervariasi tergantung pada konteks politik dan budaya. Orang Madura atau Bugi yang merasa harga dirinya disakiti dengan melakukan Carok atau Siri yang menurut pengetahuan mereka tidak sama dengan "pembunuhan". Demikian pula, setiap hukum melarang korupsi karena daya rusaknya yang luar biasa terhadap kesejahteraan umat manusia. Namun, persepsi korupsi di masyarakat bisa berbeda-beda. 

Hukum negara-negara berkembang memerlukan pendekatan yurisprudensi dan ilmu sosial. Mengetahui isi peraturan perundang-undangan dan kasus-kasus hukum memerlukan pendekatan dan analisis yurisprudensi. Namun, pendekatan ini tidak membantu untuk memahami bagaimana hukum bekerja dalam realitas sehari-hari dan bagaimana hukum berhubungan dengan konteks sosial. Atau "bagaimana efektivitas hukum dan kaitannya dengan konteks ekologis" (Otto, 2007:

11). Oleh karena itu diperlukan pendekatan interdisipliner, yaitu konsep dan teori dari berbagai disiplin ilmu yang dipadukan dan dipadukan untuk mengkaji fenomena hukum yang tidak terlepas dari konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya di mana hukum itu ditemukan. Hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa kajian hukum sosial tidak identik dengan sosiologi hukum, sebuah disiplin ilmu yang sudah lama dikenal di Indonesia. Kata "masyarakat" tidak mengacu pada sosiologi atau ilmu-ilmu sosial. Sarjana keadilan sosial biasanya tinggal di sekolah hukum. Mereka memiliki kontak terbatas dengan sosiolog, karena penelitian ini jarang dikembangkan dalam sosiologi atau jurusan ilmu sosial lainnya (Banakar dan Travers, 2005).

Ilmu hukum sosial pada dasarnya adalah ilmu hukum yang menggunakan pendekatan metode ilmu sosial dalam arti yang seluas-luasnya. Studi hukum sosial merupakan pendekatan alternatif yang mengkaji ilmu hukum. Kata "masyarakat" dalam kajian hukum sosial merepresentasikan hubungan antara konteks di mana hukum itu ada (antarmuka ke konteks di mana hukum itu ada). Oleh karena itu, ketika seorang peneliti hak-hak sosial menggunakan teori sosial untuk tujuan analitis, ia seringkali mengarahkan perhatiannya bukan pada sosiologi atau ilmu sosial lainnya, tetapi pada penelitian hukum dan hukum (Banakar & Travers, 2005). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun