Sebagai salah satu pengguna setia Twitter dan jurnalis pemula yang sering memanfaatkan Twitter untuk mencari topik, saya agak terkejut ketika melihat tagar #RIPTwitter dan #GoodbyeTwitter terpampang di jajaran trending pada awal November lalu. Hampir satu juta tweets menggunakan tagar yang mengindikasikan kematian platform berbasis teks ini. Bingung dan agak khawatir, saya pun melakukan beberapa penelusuran terkait tagar tersebut.
Rupanya, kantor Twitter akan ditutup setelah melakukan pemecatan karyawan secara besar-besaran. Langkah yang cukup berani dari Elon Musk, pemilik baru platform tersebut. Penutupan kantor Twitter membuat penggunanya berpikir aplikasi berlogo burung biru itu ikut gulung tikar. Namun, nyatanya Twitter masih aktif hingga saat ini, meski ada sejumlah perubahan yang menimbulkan kontroversial. Agaknya, Elon memang gemar membuat Twitter menjadi trending topic di platformnya sendiri.
Fitur pertama yang mendapat banyak kritikan adalah centang biru berbayar seharga 8 dollar. Seperti platform lain, centang biru di Twitter menandakan sebuah akun telah terverifikasi dalam bidangnya, seperti dalam bidang hiburan, politik, edukasi, olahraga, dan lain-lain. Selain itu, centang biru juga diberikan pada mereka yang memiliki banyak pengikut dan dianggap berpengaruh pada komunitas di media sosial tersebut. Namun kini, centang biru yang biasanya hanya dimiliki oleh akun-akun tokoh kenamaan dan selebriti itu bisa dibeli oleh siapa saja.Â
Bagi orang biasa seperti saya, membayar $8 atau sekitar Rp126.000 tiap bulannya cukup berat juga. Akan tetapi, buat mereka yang berkepentingan, harga ini wajar-wajar saja, bahkan mungkin terbilang murah. Bagi perusahaan-perusahaan yang kurang terkenal misalnya, karena memang membutuhkan kredibilitas yang ditawarkan centang biru, mereka pasti rela untuk membayar $8 per bulan.Â
Media berita baru dan selebtwit wannabe juga bisa dipastikan tertarik dengan fitur ini. Meski tidak menutup kemungkinan akan ada banyak akun pribadi yang juga mendapatkan centang biru di sebelah nama akunnya.Â
Mereka yang cukup uang tentu tidak keberatan membayar lebih untuk berlangganan Twitter Blue, sistem langganan di mana fitur centang biru ini ditambahkan. Sebab, selain centang biru, ada banyak fitur menarik lain yang disediakan Twitter Blue, seperti fitur edit tweet yang telah lama diidam-idamkan pengguna Twitter.
Namun, selang dua hari setelah diluncurkan, fitur baru yang dicanangkan Elon Musk tersebut sudah menunjukkan kecacatannya. Mulai bermunculan akun-akun palsu yang menyebarkan berita bohong. Kejadian yang paling banyak dibahas adalah akun peniru Eli Lilly, sebuah perusahaan insulin di Amerika Serikat.Â
Pada 11 November, sebuah akun meniru perusahaan Eli Lilly dengan memanfaatkan centang berbayar, lalu mengirim kicauan demikian, "We are excited to announce insulin is free now." (Kami bersemangat untuk mengumumkan bahwa mulai sekarang insulin akan digratiskan.) Berita bohong itu segera ditepis akun resmi Eli Lilly, tapi kekacauan malah makin membesar. Publik bertanya-tanya, mengapa insulin begitu mahal, muncul pula berbagai perdebatan mengenai harga obat bagi penderita diabetes tersebut. Akibat kontroversial itu, saham Eli Lilly jatuh dan menimbulkan kerugian hingga milyaran rupiah.
Kerugian akibat disinformasi dari akun peniru bercentang biru itu masih belum dianggap krusial, bahkan banyak yang menjadikannya bahan humor karena menilai perusahaan tersebut pantas mendapatkan kerugian besar akibat menjual obat dengan harga selangit. Namun, jika tidak segera ditangani, disinformasi akibat centang biru akan makin susah ditandingi.Â
Pasalnya, masyarakat mudah memercayai informasi yang ditemuinya di internet. Belum lagi, media berita yang juga sering tertipu dengan berita bohong yang viral di jagat dunia maya dan malah ikut menyebarkannya.
Hal ini disebabkan oleh kecepatan informasi yang dipegang teguh oleh sebagian besar media berita daring. Terlebih lagi, menengok kasus Eli Lilly, butuh sekitar 6 jam bagi Twitter untuk menghapus cuitan akun yang peniru tersebut. Dalam perkiraan waktu yang sama, berita bohong yang disebarkan akun-akun palsu selanjutnya dapat berdampak lebih besar.
Padahal, media sosial Twitter bisa dibilang menjadi tempat para jurnalis memanen topik. Saya pun sering memanfaatkan Twitter untuk mencari ide tulisan karena ada begitu banyak hal menarik yang terjadi di platform ini.Â
Potensi besar Twitter dalam ruang redaksi media dibuktikan oleh survei Dewan Pers, sebanyak 50% wartawan memanfaatkan Twitter untuk memperoleh informasi dan ide berita, 46% memilih Twitter sebagai sumber berita, dan 40% memakai aplikasi tersebut untuk menghubungi narasumber.
Namun, keberadaan centang biru berbayar ini dapat mengganggu ekosistem sehat media baru dan media konvergensi yang hidup di jagat micro blog Twitter. Wartawan perlu sangat berhati-hati dalam menyaring informasi yang beredar di Twitter, begitu pula dengan memilih narasumber atau mengutip cuitan dari sebuah akun. Bukannya mengutip Jokowi, bisa-bisa yang dikutip malah Jokowow.
Menyikapi hal ini, Elon Musk dan jajarannya pun menambahkan berbagai peraturan untuk mengantisipasi akun peniru lainnya. Akan dilakukan penambahan kata parody bagi akun yang ingin memparodikan akun lain, penambahan kata official bagi akun-akun resmi, dan pelarangan mengubah nama akun.Â
Nantinya, juga akan dibuat perbedaan warna centang bagi akun-akun tertentu, misal akun pemerintahan diberi centang warna kuning dan akun seleb diberi warna hijau. Meski tetap saja, celah disinformasi masih bisa disusupi oleh mereka yang berkeinginan tinggi. Peran wartawan dan media berita pengecek hoax-lah yang dibutuhkan disini untuk memerangi disinformasi.
Di sisi lain, ada juga fitur baru yang bisa jadi keuntungan bagi para jurnalis, yakni fitur view count atau jumlah penayangan. View count bisa ditemukan di pojok kiri bawah di sebelah ikon komentar, fungsinya adalah untuk menunjukkan jumlah orang yang melihat tweet anda. Tadinya, jumlah penayangan ini tersembunyi bagi pemilik tweet saja, tapi kini view count bisa dilihat oleh siapa saja.Â
Meski terdengar receh, fitur yang satu ini bisa dimanfaatkan oleh jurnalis yang ingin mengangkat nilai berita dari topik yang diambil dari Twitter. Kalau tadinya jurnalis hanya bisa menuliskan keterangan jumlah like dan retweet, kini angka view count juga bisa menambah nilai impact yang ditimbulkan sebuah tweet ke masyarakat luas. View count ini jadi relevan karena jumlahnya cenderung lebih banyak dibandingkan like dan retweet. Seperti kata Elon, 90% pengguna Twitter hanya membaca, tetapi tidak meninggalkan jejak like atau retweet pada apa yang dibacanya.
Meski, menurut saya, penempatan fitur view count ini cukup membingungkan karena mengambil tempat ikon komentar. Ketika melihat sebuah tweet yang view count-nya ratusan, saya sering mengira kalau komentarnya yang mencapai ratusan, padahal komentarnya bisa dihitung oleh jari. Beberapa pengguna Twitter pun mengeluhkan hal ini hingga Elon membuat polling untuk khalayaknya memilih di mana seharusnya view count itu ditempatkan.
Selanjutnya, ada pula larangan mempromosikan platfrom lain di Twitter. Pengguna yang menggunakan akun Twitternya hanya untuk mempromosikan akun di platform lain akan ditangguhkan.Â
Meski tidak semua platform masuk ke dalam larangan ini, hanya Instagram, Facebook, dan pihak ketiga seperti Linktree yang termasuk ke dalam platform terlarang. Masih belum jelas mengapa platform-platform tersebut masuk ke dalam daftar terlarang untuk dipromosikan, tetapi yang jelas kecaman juga datang setelah peraturan baru ini muncul.Â
Larangan promosi itu jadi catatan untuk media-media yang menjadikan Twitter sebagai kanal distribusi dan promosi artikel yang dipublikasi di platform lain, terutama di platfrom-platfrom terlarang tadi.Â
Begitulah beberapa perubahan, larangan, dan fitur baru keluaran Twitter yang cukup membuat pusing jurnalis dan media berita. Meski mendapat banyak kritik dan kecaman, bukan tidak mungkin Elon Musk masih akan menciptakan terobosan-terobosan baru demi mewujudkan cita-citanya, yakni menjadikan Twitter sebagai ruang yang aman bagi kebebasan berpendapat. Semoga saja perubahan selanjutnya tidak menghancurkan iklim sehat yang tercipta antara media berita, para jurnalis, dan platform Twitter itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI