Mohon tunggu...
Yokie S
Yokie S Mohon Tunggu... Freelancer - Adalah seorang Pelacur Spiritual yang merangkap sebagai Penulis Gelap secara fungsional.

Situs alamat saya ini, sejak awal, sudah saya rancang dengan konstruksi tanpa pintu. Jadi Anda, bebas mau keluar, atau mau masuk, atau mau jungkirbalik sekalian. Entah kenapa Admin Kompasiana yang cantik itu mengizinkan saya meluncurkan tulisan-tulisan tidak beres saya di sini. Saya kira sudah cukuplah semua basa-basi penghantar ini ya? Saya bukan ahli silaturahmi soalnya.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ancaman Peradaban Dalam Kacamata Jared Diamond

4 November 2019   17:51 Diperbarui: 4 November 2019   21:18 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah kurang lebih 3 hari yang lalu W.S Rini, rekan saya di, berjanji akan mengulas isi Buku berjudul Collapse ini pada saya, akhirnya setelah saya tunggu-tunggu, beberapa menit lalu Beliau sudah menepati janjinya. Dan lunaslah sudah semua janji-janji.

Sedang janji bermula, ketika Beliau sedang berada di Gramedia, dan menanyakan recomended dari saya sambil mengirim foto jejeran Buku di rak toko, lewat kolom Chatting di salah satu media sosial, kemarin. Lalu saya, tunjuk arah ke Buku ini, karena menurut prediksi saya judulnya cukup menarik. Garini juga setuju, maka terjadilah semua ini.

Ulasan ini ditulis oleh Beliau, saya bermaksud untuk me-repost ulang. Siapa tahu Anda juga tertarik dengan isi Buku ini yang kurang lebih isinya adalah tentang ancaman-ancaman yang bisa saja membahayakan eksistensi peradaban manusia dari sisi Geografi, Iklim, Pemanasan Global, Budaya, Perang dan Manusianya.

Collapse.

Awalnya saya mengira buku ini setengah fiksi. Bercerita tentang sebuah peradaban yang semula makmur kemudian pelan-pelan menuju kehancuran karena adanya berbagai faktor. Tapi ternyata tidak. Melenceng jauh dari ekspetasi.

Buku ini sebenar-benarnya sebuah kajian ilmiah. Tidak ada itu fantasi dan imajinasi faktor X yang sering kita dengar dari sebagian orang yang menurut saya malas merunut kronologi sebuah kejadian. Orang-orang pasrah yang menyerahkan segala kejadian atas kehendak "Yang Diatas".

Sebelum membahas lebih jauh, sebaiknya kita mengenal dulu penulis buku ini. Adalah Jared Diamond. Seorang Profesor Geografi dan Ilmu Kesehatan Lingkungan di University of California, Los Angeles. Sejak usia tujuh tahun Jared Diamod sudah memiliki ketertarikan untuk mengamati kehidupan burung-burung. Dan selama empat puluh tahun telah meneliti burung-burung hutan hujan di Papua.

Bukan hanya itu, dia juga menyukai segala tumbuhan, hewan, habitat lainnya dan menghargai keberadaan mereka sesuai apa adanya mereka. Dua belas tahun terakhir Jared Diamond menjabat sebagai Direktur cabang AS World Wildlife Fund, salah satu organisasi environmentalis internasional terbesar dan memiliki kepentingan paling kosmopolitan.

Dari CV sang penulis, setidaknya kita bisa sedikit mengambil kesimpulan mengenai apa yang akan dibahas dalam buku ini. Sebenarnya buku ini belum selesai benar saya baca. Namun beruntungnya kesimpulan buku ini justru berada di halaman depan.

Sungguh kagum saya dibuatnya, dengan meletakkan kesimpulan ada di halaman depan, seolah si penulis sudah memberi warning " Take it or Leave it", jika tak tertarik cukup lambaikan tangan, tutup cover buku dan kibarkan bendera putih.

Yang dimaksud Collapse oleh penulis di sini adalah bahwa runtuhnya peradaban dapat didefinisikan sebagai hilangnya populasi, identitas, dan kompleksitas sosial-ekonomi, secara cepat dan permanen. Layanan publik hancur, dan kekacauan terjadi ketika pemerintah kehilangan kendali atas monopoli kekerasan.

Pada hakekatnya, hampir semua peradaban di masa lalu telah menghadapi nasib seperti ini. Beberapa pulih atau berubah, seperti Cina dan Mesir. Keruntuhan lainnya permanen, seperti di Pulau Paskah.

Kadang-kadang kota-kota di pusat keruntuhan dihidupkan kembali, seperti, Roma. Dalam kasus lain, misalnya reruntuhan Maya, ditinggalkan sebagai kuburan, bagi wisatawan masa depan.

Masyarakat di masa lalu dan sekarang hanyalah sistem rumit yang terdiri dari manusia dan teknologi. Teori "Kecelakaan normal", menjelaskan bahwa sistem teknologi yang rumit bisa secara reguler membuka jalan menuju kegagalan. Jadi keruntuhan mungkin merupakan fenomena normal bagi peradaban, terlepas dari ukuran dan tahapannya.

Sekarang kita mungkin lebih maju secara teknologi. Tapi itu bukan alasan untuk percaya bahwa kita kebal dari ancaman yang melemahkan leluhur kita. Kemampuan teknologi kita yang baru ini bahkan membawa tantangan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Dan meskipun skala kita sekarang bersifat global, keruntuhan bisa terjadi pada kekaisaran besar maupun kerajaan yang masih muda.

Tidak ada alasan untuk percaya bahwa ukuran yang lebih besar berarti makin terlindung dari bubarnya masyarakat. Sistem ekonomi global kita yang berkelindan, justru kemungkinan besar dapat membuat krisis meluas.

Jika nasib peradaban sebelumnya bisa menjadi penunjuk jalan menuju masa depan kita, apa yang tertulis di sana? Salah satu metode adalah memeriksa tren yang mendahului runtuhnya sejarah dan melihat bagaimana perkembangannya saat ini.

Menurut Jared Diamond ada lima faktor yang mempengaruhi runtuhnya sebuah peradaban :

1. Kerusakan Lingkungan.

2. Perubahan Iklim.

3. Pengaruh peradaban musuh.

4. Pengaruh peradaban sahabat.

5. Tanggapan masyarakat terhadap lingkungan.

Bercermin dari lima hal yang telah disebutkan di atas, meski sedikit melenceng, saya ingin memetakan kondisi yang sedang terjadi di Indonesia. Sebuah kondisi yang sering luput dari pengamatan dan tidak menjadi topik-topik yang hangat diperbincangkan di sosial media.

Topik yang sering kali tenggelam oleh hal-hal receh yang acap kali dilempar oleh badut politik, hingga kita abai terhadap sesuatu yang sesungguhnya menjadi ancaman buat masa depan anak cucu kita.

1. Kerusakan Lingkungan.
Indonesia kini termasuk dalam sepuluh besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Dan saat saya googling,  menurut data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  bahwa Indonesia memproduksi sampah hingga enam puluh juta ton pada tahun 2016. Dan rata-rata mengalami kenaikan volume kurang lebih satu juta ton tiap tahunnya.

Dengan dominasi sampah organic 60% dan sampah plastik 15%. Keberadaan sampah ini turut andil dalam merusak ekosistem laut dan menyebabkan erosi pantai. Kerusakan hutan juga berperan atas  kerusakan lingkungan. Pembalakan liar menjadi penyebab utama dari berkurangnya lahan hutan.

Eksploitasi kekayaan alam yang berlebihan yang memberi kontribusi terhadap rusaknya lingkungan. Eksploitasi alam terjadi karena kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Dimasa modern seperti saat ini kebutuhan manusia akan sumber daya alam sangatlah tinggi.

Padahal tanpa mereka sadari eksploitasi yang mereka lakukan itu telah merusak lingkungan tempat mereka hidup sendiri. Salah satu faktor yang mendorong eksploitasi ini terjadi adalah kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Selain itu faktor ekonomi sangatlah berpengaruh penting dalam usaha eksploitasi alam ini.

2. Perubahan Iklim.
Kemarau yang panjang berdampak pada kekurangan pasokan air di wilayah pertanian, akibatnya gagal panen, perubahan masa tanam dan masa panen,  munculnya hama dan wabah penyakit. Pemanasan Global, adalah proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfir,  laut dan permukaan bumi. Dampaknya, rusaknya ekosistem makhluk hidup serta tenggelamnya pulau-pulau kecil karena naiknya permukaan air laut. Akibat mencairnya lapisan es di kutub.

3. Pengaruh Peradaban Musuh.
Ini lebih disebabkan ekspansi dari negara lain. Peperangan bisa menjadi penyebab runtuhnya sebuah peradaban. Bisa jadi Indonesi sudah menjadi bangsa merdeka sejak 1945, tetapi setidaknya cara ekonomi sudahkah bisa disebut sebagai negara merdeka, sedang nilai impor masih lebih besar dibanding nilai ekspor.

4-5. Capek ngetik Yokie S. Sudah yaa? Hutangku lunas soal buku ini.

Suka atau tidak, runtuhnya peradaban tidak bisa kita hindari. Sejarah menunjukkan kemungkinan itu, tetapi setidaknya kita punya keuntungan karena kita bisa belajar dari puing-puing masyarakat masa lalu.

"Peradaban besar tidak dibunuh. Mereka mencabut nyawanya sendiri".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun