"Ini ... benarkah ini tulisan Tiffany?" tanya Bu Wendy memastikan.
"Anda sebagai orang tuanya seharusnya lebih tahu dengan tulisan anak Anda sendiri!"
Pak Ferdi bahkan tidak bisa berkata-kata lagi. Dalam buku tulis milik bersama itu, Tiffany sering menuliskan analisisnya mengenai kasus-kasus korupsi yang sering dia tonton di TV. Ternyata buku itu sangat berguna dalam kondisi seperti ini.
"Selama ini, Tiffany tidak berani untuk mengatakan keinginan terbesarnya ini kepada Anda. Dia tidak punya mediator. Karena kondisinya yang mulai mengkhawatirkan, saya memutuskan untuk menunjukan ini kepada Anda, meski terlambat. Coretan di buku ini masih belum seberapa, mungkin dia juga menyimpan analisis yang lebih rapi di file komputernya."
"Saya pikir, sudah waktunya Anda membebaskan Tiffany dari belenggu ambisi, terutama mengenai keinginan Anda memasukkan Tiffany ke fakultas kedokteran yang benar-benar bukan bidangnya. Kalau ingin memindahkannya lagi ke kelas IPS, terlalu tanggung. UN 8 bulan lagi."
Kedua orang tua Tiffany merasa tersentuh. Meskipun yang sedang menasihati mereka hanyalah seorang remaja yang baru hidup selama 17 tahun lebih 5 bulan, tetapi itulah poin utama yang bisa memuluskan langkah mereka untuk menyelesaikan masalah "mogok sekolah" Tiffany yang berkepanjangan.
Pintu kamar Tiffany dibuka. Terlihat sang putri tunggal sedang tertidur pulas sambil memeluk buku biografi seorang pemimpin yang amat dikaguminya.
Aku tersenyum. Besok pagi, aku akan melihatmu di sekolah.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H