Mohon tunggu...
Vidya Mardalena
Vidya Mardalena Mohon Tunggu... -

Calon pemenang UN dan SNMPTN produksi kelas IPA 2013

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Halo, Sekolah!

14 September 2012   07:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:29 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Emma, sampaikan pada wali kelasku kalau aku sakit.

-send-

Hidup ini adalah pilihan hidup, begitu juga sekolah.

Tiffany tersenyum ketika melihat balasan SMS dari Emma.

Oh, kamu pusing lagi ya? Oke, selamat beristirahat!

Sementara orang tuanya hanya pasrah meluluskan keinginan anaknya. Tadi pagi, Mama datang ke kamar menjenguk Tiffany yang masih berkutat dengan selimutnya. Dia mengelus rambutnya dengan lembut dan bertanya, "Sekolah?"

Tiffany tidak menjawab. Dia berbalik dan menutupi dirinya dengan selimut. Lebih rapat. Mama sudah tahu itulah jawabannya.

Ayah juga ikut masuk ke kamar Tiffany. Dia langsung merasakan aroma letih yang sedang dipikul istrinya. Tiffany masih di sana, di bawah selimutnya, berdansa dengan mimpi-mimpinya. Seharusnya sekarang dia telah berseragam putih-abu dengan rapi dan menunggu Mang Saleh mengantarnya ke sekolah.

Mama mendekati Ayah yang terpaku. "Ayah, sebaiknya kita melanjutkan aktivitas kita lagi. Biarkan Tiffany seperti itu."

***

Kelas 12 adalah beban. Kelas 12 adalah konflik. Kelas 12 adalah di mana tekanan akan menekanmu beberapa ribu paskal lebih besar dari sebelumnya.

Tiffany, aku kasihan dengan gadis cantik yang cerdas dan berwawasan luas itu. Dia adalah seorang gadis yang mempunyai cita-cita serta tujuan yang lebih jelas dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Impian terbesarnya adalah menjadi pemimpin negeri ini. Ya, seorang presiden! Bisa dibayangkan berapa banyak remaja yang ingin bercita-cita untuk menjadi presiden?

Dia sering bercerita kepadaku tentang apa yang ingin dia capai di masa mendatang. Bahkan, sampai aku hafal dan bosan mendengar celotehannya. Dia ingin masuk FISIP di sebuah PTN ternama dan ingin lulus dengan predikat cumlaude. Kemudian dia juga mengincar beasiswa di universitas luar negeri untuk menambah ilmunya. Dia juga telah mempunyai visi dan misi untuk mengembalikan Indonesia ke masa kejayaan Majapahit. Wah, pokoknya dia benar-benar tahu tujuannya. Dan itu ketika aku dan dia baru masuk SMA.

Ceritanya lain. Tiffany itu sekarang telah pergi. Sosoknya yang berkobar kini telah padam. Konon, api itu dipadamkan oleh egoisme orang tua yang berpandangan lain soal pendidikannya.

Pagi itu, aku resmi menjadi murid kelas 11 IPA 3. Yang mengejutkan, ternyata aku kembali lagi sekelas dengan Tiffany. Saat itulah aku melihat wajah Tiffany yang murung.

"Kupikir aku akan segera berpisah dengan ilmu pasti yang kasat mata ..." kalimat pertama yang keluar dari bibirnya.

"Emma, aku bertanya, apakah anak-anak IPS itu orang-orang buangan?"

Aku menggeleng setengah takut. Aku membiarkan Tiffany melanjutkan kata-katanya.

"Apakah profesi di dunia ini hanya DOKTER??"

Aku tidak berani bergerak.

"Pada dasarnya semua ilmu itu saling melengkapi. Ya, kan? Semua ilmu itu berguna, tergantung bagaimana kita menggunakannya dan bagaimana ikhlasnya kita mempelajari ilmu tersebut. Sains memang membantu kita dalam teknologi. Apabila tidak diimbangi dengan sosialisasi, maka Sains pun tidak akan berkembang. Dalam sosialisasi itu tadi juga diperlukan komunikasi verbal, bahasa. Dan terakhir, perkembangan seluruh ilmu pengetahuan itu tidak akan terjadi tanpa kuasa Tuhan, agama,"

Pembicaraan mulai berat. Tiffany menjadi pusat perhatian warga kelas baru ini.

"bagaimana bisa orang tuaku memaksaku masuk jurusan ini dengan embel-embel bahwa anak-anak IPA itu adalah anak-anak dengan IQ tinggi dan dari golongan terpelajar? IQ kita, terpelajar tidaknya kita, tergantung pada bidang kita. Ya, kan? Jadi mengapa harus IPA kalau kita tidak mampu sementara seharusnya kita bisa mengembangkan kemampuan kita di bidang lain? Gengsi? Persetan dengan itu!"

Tiffany duduk di bangkunya dengan kasar. Sepanjang hari itu, aku tidak berani mengajaknya ngobrol.

***

Beginilah kondisi Tiffany sekarang. Ketika teman-temannya tengah sibuk bersitegang dengan rumus-rumus yang baru disampaikan gurunya, dia berkutat dengan sebuah buku tebal. Wajah antusias terpampang di wajahnya, berbeda sekali dengan saat dia di sekolah.

***

Tiffany, sepertinya dia terkena gejala psikologis yang kuat. Setelah setahun dia masuk kelas IPA, dia seperti sedang mengalami stress. Setiap kali dia membaca buku pelajaran, sakit kepala selalu menimpanya. Dia tidak bisa menerima penjelasan gurunya. Dia sering menangis diam-diam.

Tiffany biasanya mendapatkan ranking 3 besar sejak SD. Namun, masuk 10 besar saja dia tidak mampu saat ini. Dia sering mengeluh, seberapa keras dia belajar, nilainya hanya berkutat di angka 7. Dia menyalahkan pelajaran IPA yang sulit dia kuasai sebagai biang kerok turunnya nilai rata-rata rapornya. Itulah kemudian yang membuatnya merasa sia-sia menghabiskan waktunya dengan belajar. Mulailah sakit kepala itu melanda. Sakit kepala yang susah disembuhkan itulah yang membuat bangku sebelahku seringkali kosong. Yang ada hanyalah buku tulis bergambar Pokemon yang tergeletak bisu. Buku tulis tempat curhatan kami terhambur.

Buku itu ....

Aku langsung bangkit dari lamunanku. Emma, kau harus berbicara kepada orang tuanya!

***

Bu Wendy tertegun. Begitu pula dengan Pak Ferdi. Mereka menatap lembaran buku itu dengan rasa tidak percaya.

"Ini ... benarkah ini tulisan Tiffany?" tanya Bu Wendy memastikan.

"Anda sebagai orang tuanya seharusnya lebih tahu dengan tulisan anak Anda sendiri!"

Pak Ferdi bahkan tidak bisa berkata-kata lagi. Dalam buku tulis milik bersama itu, Tiffany sering menuliskan analisisnya mengenai kasus-kasus korupsi yang sering dia tonton di TV. Ternyata buku itu sangat berguna dalam kondisi seperti ini.

"Selama ini, Tiffany tidak berani untuk mengatakan keinginan terbesarnya ini kepada Anda. Dia tidak punya mediator. Karena kondisinya yang mulai mengkhawatirkan, saya memutuskan untuk menunjukan ini kepada Anda, meski terlambat. Coretan di buku ini masih belum seberapa, mungkin dia juga menyimpan analisis yang lebih rapi di file komputernya."

"Saya pikir, sudah waktunya Anda membebaskan Tiffany dari belenggu ambisi, terutama mengenai keinginan Anda memasukkan Tiffany ke fakultas kedokteran yang benar-benar bukan bidangnya. Kalau ingin memindahkannya lagi ke kelas IPS, terlalu tanggung. UN 8 bulan lagi."

Kedua orang tua Tiffany merasa tersentuh. Meskipun yang sedang menasihati mereka hanyalah seorang remaja yang baru hidup selama 17 tahun lebih 5 bulan, tetapi itulah poin utama yang bisa memuluskan langkah mereka untuk menyelesaikan masalah "mogok sekolah" Tiffany yang berkepanjangan.

Pintu kamar Tiffany dibuka. Terlihat sang putri tunggal sedang tertidur pulas sambil memeluk buku biografi seorang pemimpin yang amat dikaguminya.

Aku tersenyum. Besok pagi, aku akan melihatmu di sekolah.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun