Mohon tunggu...
Vidya Mardalena
Vidya Mardalena Mohon Tunggu... -

Calon pemenang UN dan SNMPTN produksi kelas IPA 2013

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Halo, Sekolah!

14 September 2012   07:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:29 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"bagaimana bisa orang tuaku memaksaku masuk jurusan ini dengan embel-embel bahwa anak-anak IPA itu adalah anak-anak dengan IQ tinggi dan dari golongan terpelajar? IQ kita, terpelajar tidaknya kita, tergantung pada bidang kita. Ya, kan? Jadi mengapa harus IPA kalau kita tidak mampu sementara seharusnya kita bisa mengembangkan kemampuan kita di bidang lain? Gengsi? Persetan dengan itu!"

Tiffany duduk di bangkunya dengan kasar. Sepanjang hari itu, aku tidak berani mengajaknya ngobrol.

***

Beginilah kondisi Tiffany sekarang. Ketika teman-temannya tengah sibuk bersitegang dengan rumus-rumus yang baru disampaikan gurunya, dia berkutat dengan sebuah buku tebal. Wajah antusias terpampang di wajahnya, berbeda sekali dengan saat dia di sekolah.

***

Tiffany, sepertinya dia terkena gejala psikologis yang kuat. Setelah setahun dia masuk kelas IPA, dia seperti sedang mengalami stress. Setiap kali dia membaca buku pelajaran, sakit kepala selalu menimpanya. Dia tidak bisa menerima penjelasan gurunya. Dia sering menangis diam-diam.

Tiffany biasanya mendapatkan ranking 3 besar sejak SD. Namun, masuk 10 besar saja dia tidak mampu saat ini. Dia sering mengeluh, seberapa keras dia belajar, nilainya hanya berkutat di angka 7. Dia menyalahkan pelajaran IPA yang sulit dia kuasai sebagai biang kerok turunnya nilai rata-rata rapornya. Itulah kemudian yang membuatnya merasa sia-sia menghabiskan waktunya dengan belajar. Mulailah sakit kepala itu melanda. Sakit kepala yang susah disembuhkan itulah yang membuat bangku sebelahku seringkali kosong. Yang ada hanyalah buku tulis bergambar Pokemon yang tergeletak bisu. Buku tulis tempat curhatan kami terhambur.

Buku itu ....

Aku langsung bangkit dari lamunanku. Emma, kau harus berbicara kepada orang tuanya!

***

Bu Wendy tertegun. Begitu pula dengan Pak Ferdi. Mereka menatap lembaran buku itu dengan rasa tidak percaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun