Padahal, berbagai kritikan itu seringkali hanya melihat dari satu sudut pandang, lalu mengungkapkan berbagai kesalahan Jokowi. Padahal, Jokowi sudah melihat semua spektrtum sebelum menetapkan keputusan. Dia memastikan kebijakannya mencakup semua spektrum, mengondisikan latar sosial kebijakan, lalu mengambil keputusan ketika situasi benar-benar sudah matang.
Sebagai penutup, saya sering geli ketika banyak pengkritik membandingkan penanganan pandemi Indonesia dengan negara lain. Ada yang menyebut keberhasilan Tiongkok membatakan gelombang mudik Imlek seiring penutupan kota Wuhan. Padahal, kalau realitas sosial-politik China seperti Indonesia, saya yakin Xi Jinping akan menimbang ratusan kali sebelum melarang mudik. Setidaknya, dia harus memastikan sinergi dengan ratusan kepala daerah dan jutaan perantau yang siap ngamuk kalau tiba-tiba dilarang mudik.
Di tengah pandemi yang serba tidak pasti ini, justru Jokowi menunjukkan kapasitasnya mengelola kekuatan kolektif di tengah masyarakat yang plural dan sistem politik yang menyebar. Di satu sisi, penanganan pandemi terus menunjukkan peningkatan terkait kesiapan sistem kesehatan hingga pembenahan berbagai sektor strategis. Di sisi lain, berbagai kebijakannya juga tetap efektif menjaga modal sosial serta aset politik yang demokratis.
Sejarah mencatat demokrasi sebagai resep universal untuk menjaga aset kemanusiaan dan keberagaman. Masalahnya, demokrasi sering gagap menghadapi situasi darurat, seperti pengalaman Republik Weimar yang gagal mengantisipasi fasisme. Tapi dalam penanganan Covid-19 ini, Jokowi telah menunjukkan bahwa demokrasi dan keberagaman justru menjadi modal Indonesia menghadapi darurat pandemi yang tengah mengancam komunitas global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H