Oleh: Yohanes Manhitu
Di kala fajar menyingsing hendak menerangi alam
yang dilepas malam, aku berjalan menyusuri
beberapa bangunan tua yang tergusur
oleh gedung-gedung percakar langit,
bahkan nyawa, yang mengepung mereka.
Mungkin pemiliknya pergi karena takut
ditimpa gedung yang runtuh.
Di dekat bangunan-bangunan tua itu,
aku menghentikan langkahku di pinggir sebuah telaga kecil:
telaga yang dahulu aku kenal sebagai telaga indah
dengan ikan-ikan yang berwarna-warni dan
berenang kian kemari, berkejar-kejaran
dengan gembira.
Dahulu, aku sering berhenti sebentar di sana
untuk menatapnya, lalu meneruskan lari pagiku,
tanpa mempedulikan pemilik kolamnya yang
selalu menatapku dengan tanda tanya.
Namun, sekarang telaga itu mulai kekurangan air,
seiring dengan perginya para penghuni bangunan-bangunan tua itu.
Aku menatapnya sesaat, kemudian berlalu, sambil membayangkan hatiku
yang hancur; membayangkan gejala ketidaksetiaanmu,
ketidakjujuranmu yang mungkin akan membawaku    Â
kepada ketidakpastian yang tak berkesudahan.
Laksana telaga yang mulai kekurangan air,
aku mulai merasakan kurangnya curahan kasihmu padaku.
Mungkinkah suatu saat nanti hatiku ini akan menjadi telaga
yang kehabisan cinta? Aku tak tahu. Aku tak suka menebak teka-teki.
Yang kusukai hanyalah kepastian. Ya, kepastian yang pasti.
Mengapa aku harus berandai-andai?
Dari telaga itu, aku mengayunkan langkahku
ke sebuah taman nan menawan dan menyegarkan kalbu.
Di sana, kutatap rumput yang tumbuh subur menghijau,
bagaikan permadani indah yang terbentang luas
dari singgasana hingga tangga-tangga istana
para sultan Arab dalam cerita seribu satu malam.
Aku ingin jiwaku setegar rumput yang tak gentar
menghadapi terpaan angin lembah
yang mengancam hayat.
Aku bertanya pada diriku sendiri,
"Apakah aku sedang bermimpi saat ini?"
Oh, tidak....tidak. Aku sungguh-sungguh
sedang berada di sebuah taman,
taman impian yang nyata.
Hatiku memang sangat mengharapkan
tetesan-tetesan embun jiwamu, bagaikan
semak-semak kering di padang sabana Afrika
yang menantikan hujan yang entah kapan akan tiba.
Hati kecilku berbisik tanpa kusadari, "Oh, Tuhanku,
bawalah dia kembali ke haribaan kalbuku."
Yogyakarta, 21 Agustus 2002