Mohon tunggu...
Yohanes Manhitu
Yohanes Manhitu Mohon Tunggu... Penulis - Murid abadi: penulis dan penerjemah

Saya adalah seorang penulis dan penerjemah dari Timor Barat (NTT) yang berdomisili di Yogyakarta. Bidang yang saya geluti adalah bahasa, sastra, sejarah, dan sosial budaya. Saya menulis dalam bahasa Indonesia, Dawan, Tetun Resmi (Timor-Leste), Melayu Kupang, Inggris, Prancis, Spanyol, Portugis, dan Esperanto. Silakan kunjungi blog khusus untuk karya tulis saya di http://ymanhitu-works.blogspot.com dan blog serba-serbi multibahasa saya di http://ymanhitu.blogspot.com. Salam,

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dalam Keheningan Fajar

29 September 2020   04:06 Diperbarui: 30 September 2020   05:12 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://www.goodfon.com

Oleh: Yohanes Manhitu

Di kala fajar menyingsing hendak menerangi alam

yang dilepas malam, aku berjalan menyusuri

beberapa bangunan tua yang tergusur

oleh gedung-gedung percakar langit,

bahkan nyawa, yang mengepung mereka.
Mungkin pemiliknya pergi karena takut

ditimpa gedung yang runtuh.

Di dekat bangunan-bangunan tua itu,

aku menghentikan langkahku di pinggir sebuah telaga kecil:

telaga yang dahulu aku kenal sebagai telaga indah
dengan ikan-ikan yang berwarna-warni dan

berenang kian kemari, berkejar-kejaran

dengan gembira.

Dahulu, aku sering berhenti sebentar di sana

untuk menatapnya, lalu meneruskan lari pagiku,

tanpa mempedulikan pemilik kolamnya yang

selalu menatapku dengan tanda tanya.

Namun, sekarang telaga itu mulai kekurangan air,

seiring dengan perginya para penghuni bangunan-bangunan tua itu.
Aku menatapnya sesaat, kemudian berlalu, sambil membayangkan hatiku

yang hancur; membayangkan gejala ketidaksetiaanmu,

ketidakjujuranmu yang mungkin akan membawaku       

kepada ketidakpastian yang tak berkesudahan.

Laksana telaga yang mulai kekurangan air,
aku mulai merasakan kurangnya curahan kasihmu padaku.

Mungkinkah suatu saat nanti hatiku ini akan menjadi telaga

yang kehabisan cinta? Aku tak tahu. Aku tak suka menebak teka-teki.

Yang kusukai hanyalah kepastian. Ya, kepastian yang pasti.

Mengapa aku harus berandai-andai?

Dari telaga itu, aku mengayunkan langkahku
ke sebuah taman nan menawan dan menyegarkan kalbu.

Di sana, kutatap rumput yang tumbuh subur menghijau,

bagaikan permadani indah yang terbentang luas
dari singgasana hingga tangga-tangga istana

para sultan Arab dalam cerita seribu satu malam.

Aku ingin jiwaku setegar rumput yang tak gentar
menghadapi terpaan angin lembah

yang mengancam hayat.

Aku bertanya pada diriku sendiri,

"Apakah aku sedang bermimpi saat ini?"
Oh, tidak....tidak. Aku sungguh-sungguh
sedang berada di sebuah taman,

taman impian yang nyata.

Hatiku memang sangat mengharapkan

tetesan-tetesan embun jiwamu, bagaikan

semak-semak kering di padang sabana Afrika

yang menantikan hujan yang entah kapan akan tiba.
Hati kecilku berbisik tanpa kusadari, "Oh, Tuhanku,

bawalah dia kembali ke haribaan kalbuku."

Yogyakarta, 21 Agustus 2002

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun