Mohon tunggu...
Yohanes Jeng
Yohanes Jeng Mohon Tunggu... Novelis - Filsafat

Mengubah dunia dengan mengubah diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Arti dari Menjadi Suami dan Istri dalam Perkawinan Gereja Katolik

4 Desember 2019   16:54 Diperbarui: 21 Juni 2021   11:57 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arti dari Menjadi Suami dan Istri dalam Perkawinan Gereja Katolik. | freepik

"Dalam status hidup dan kedudukannya suami isteri mempunyai karunia yang khas di tengah umat Allah (Lumen Gentium, art. 11). Rahmat khusus Sakramen Perkawinan itu dimaksudkan untuk menyempurnakan cinta suami isteri dan untuk memperkuat kesatuan mereka yang tidak dapat diceraikan, berkat rahmat ini 'para suami isteri dalam hidup berkeluarga maupun dalam menerima serta mendidik anak saling membantu untuk menjadi suci' (LG 11)."[1]

Sakramen Perkawinan merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah, dan setiap pribadi yang terlibat di dalamnya berkewajiban mencerminkan suatu persekutuan Cinta Kasih yang utuh. Perkawinan yang sah sebagai sakramen yaitu perkawinan di antara dua orang (pria dan wanita) yang telah dibaptis dan berstatus liber (bebas, tidak terikat halangan perkawinan). Perkawinan demikian tak terceraikan, sebab Allah sendiri sebagai pemberi rahmat telah mengikatnya pula dengan kesetiaan-Nya.

Sejak zaman dahulu dalam kisah Kitab Suci (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), perkawinan mengalami kemajuan dalam penghayatan kesetiaan (contoh, kisah Rut dan mertuanya Naomi) tetapi adakalanya juga tidak sesuai atau bertentangan dengan kehendak Allah (contoh, Herodes yang mengambil istri Herodias). Hingga pada zaman Yesus, orang masih terus bertanya tentang hakekat perkawinan yang tak terceraikan dan monogami (bdk. Markus 10:1-12). 

Tentu hal ini juga hingga kini masih dipertentangkan dan menjadi pertanyaan yang selalu diulang-ulang. Padahal sudah sangat jelas Yesus mengatakan tentang kehendak Allah bahwa perkawinan itu kudus dan apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Markus 10:9). 

Baca juga: Tujuan Pernikahan Gereja

Lalu bagaimana dengan umat Katolik (orang yang beriman pada Allah) yang sudah jelas-jelas mengetahui tentang kekudusan Sakramen Perkawinan ini, tetapi masih mengajukan 'perceraian' sipil? 

Padahal ketika menikah dalam gereja Katolik tidak ada yang namanya perceraian, melainkan disebut dengan pembatalan artinya ikatan perkawinan yang terdahulu dianggap tidak terjadi/ tidak sah, karena ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi yang mengakibatkan tidak sahnya sebuah perkawinan (tentu dengan penyelidikan dari otoritas gerejani). 

Tetapi bagi perkawinan yang sah dan sakramen, tidak dapat diceraikan oleh kuasa manusiawi manapun juga. Apakah Perkawinan Katolik, yang monogami dan tidak terceraikan sudah tidak relevan dengan situasi kini? 

Mengapa ada yang merasa sulit menjalani perkawinan demikian, bahkan menyerah? Siapa yang harus disalahkan? Perkawinan yang setia hanya satu pasangan, seolah-olah menjadi tembok pembatas terhadap pribadi yang ingin 'lebih', dengan alasan katanya untuk mengatasi perempuan yang sulit mendapat pasangan karena kekurangan laki-laki. Lalu bagaimana tanggapan atas peristiwa ini? Perlu kita mendalami apa yang menjadi makna perkawinan itu sendiri.

Makna Perkawinan Sebagai Sakramen

Perkawinan sebagai sakramen merupakan tanda dan sarana keselamatan bagi manusia. Penjelasan tentang perkawinan sebagai sakramen mempunyai dua pengertian. Pertama, Pengertian Sakramen secara Teologis dan kedua, Pengertian Sakramen secaraTeknis-Yuridis.[2]

Pengertian Sakramen secara Teologis

Pengertian sakramen secara Teologis yaitu semua perkawinan yang secara sah menurut Gereja Katolik mempunyai nilai sakramen. Perkawinan sah yang dimaksud adalah perkawinan antara katolik dan katolik, antara seorang katolik dan non-katolik yang tidak dibaptis. Nilai sakramennya yaitu semua perkawinan yang sah secara katolik membawa keselamatan bagi manusia dan di dalamnya Allah hadir. Perkawinan yang sah bukanlah perkawinan yang sakramen dalam arti Teknis-Yuridis.

Pengertian Sakramen secara Teknis-Yuridis

Pengertian sakramen secara Teknis-Yuridis adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita yang telah dibaptis. Perkawinan antara orang yang tidak baptis, dengan sendirinya akan diangkat ke dalam martabat sakramen jika keduanya dipermandikan(dibaptis).[3] Dengan demikian mereka yang telah melakukan pernikahan sebelum dibaptis dan kemudian hari keduanya menerima permandian, tidak dituntut perjanjian nikah baru, namun dapat meminta berkat Imam. 

Pada dasarnya perkawinan sebagai sakramen tidak terletak pada pemberkatan seorang imam, tetapi pada pelayan sakramen itu sendiri yaitu kedua mempelai yang mengikrarkan janji perkawinannya. Maka, perkawinan sebagai sakramen ini tidak menuntut maksud khusus untuk mempelai (yang bukan katolik) menerimanya sebagai sakramen, seperti pernikahan beda gereja (Katolik dan Kristen Protestan) atau Kristen Protestan dan Kristen Protestan. 

Baca juga: Ketika Hubungan Pernikahan Mulai Hambar, Segera Lakukan 3 Hal Ini

Namun, pembaptisan yang dimaksud dalam hal ini menjadikan perkawinan sebagai sakramen harus sah sebagaimana diatur dalam kanon 849, "Baptis, pintu sakramen-sakramen, yang perlu untuk keselamatan....hanya dapat diterimakan secara sah dengan pembasuhan air sungguh bersama rumus kata-kata yang seharusnya."[4]

Kedua pengertian tentang sakramen di atas tidak saling terpisah, tidak membuat perbedaan seolah-olah yang sakramen secara Teknis-Yuridis lebih tinggi dari perkawinan yang sah tetapi tidak sakramen. Gereja Katolik sangat menghormati kebebasan setiap pribadi, maka gereja juga tidak memaksakan untuk seseorang harus beragama Katolik. 

Yang terpenting adalah kedua pribadi yang melangsungkan perkawinan baik itu antara katolik dan kristen lainnya maupun katolik dan non-kristen (tidak baptis, misalnya Islam, Hindu, Buddha), sunguh-sungguh menghayati hakikat perkawinan. 

Hakikat dari perkawinan yaitu mengarah pada kebersamaan seluruh hidup yang mencakup kesejahteraan suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak.[5] Dalam hal ini setiap pribadi harus sungguh-sunguh yakin akan perkawinan yang dilakukannya sangat sakral. Semua demi keselamatan, maka setiap pribadi berkewajiban untuk mengembangkan apa yang menjadi tujuan dari perkawinannya.

Untuk Direfleksikan

Dalam hal ini setiap pribadi yang ingin dan yang telah membangun hidup berkeluarga, perlu bertanya apa yang perlu saya benahi dengan diri saya? Jangan selalu mempersalahkan orang lain dan menghakimi, tetapi lihatlah diri sendiri dan bertanya: Apakah saya telah menjadi seorang pribadi yang dewasa, bersedia mendengarkan dan menghargai, tahu memberi perhatian dan cinta yang tulus, tanpa modus? Mengapa hal itu penting? 

Dalam perkawinan bukan soal ia cantik atau ganteng, punya harta yang melimpah, punya popularitas, tetapi yang terpenting dan mendasari perkawinan adalah cinta kasih. Lalu orang berargumen, bahwa, Orang bahagia dalam hidup ketika ia punya banyak harta. Benarkah demikian? Orang yang punya banyak harta sering takut dan gelisah, bagaimana jika hartanya dicuri? 

Bahkan setiap orang yang datang ke rumahnya selalu dicurigai, jangan sampai ingin mengambil hartanya. Apakah ia bahagia? Lalu ada juga yang berpendapat, Jika cinta yang diutamakan, maka yang dilakukan hanya bercinta dan pada akhirnya mati kelaparan. Tentu cinta yang dimaksudkan bukan sebatas pemenuhan kebutuhan seksual. 

Cinta yang dimaksudkan yaitu cinta yang dewasa (tulus tanpa modus). St. Thomas Aquinas pernah mengungkapkan tentang cinta yang dewasa, "Cinta yang dewasa timbul karena menghendaki yang baik bagi orang lain". 

Dalam arti ini, cinta yang dewasa melahirkan hal-hal yang baik bagi orang lain; senantiasa memandang orang lain sederajat (tidak saling merendahkan), senantiasa berusaha membangun komunikasi yang sehat (tidak menggurui dan selalu merasa diri benar), punya hati untuk mengampuni (pengertian), dan bertanggung-jawab atas kehidupan bersama (saling mendukung dan melengkapi). Atau dalam bahasa Paus Fransiskus, dalam hidup berkeluarga perlu ada tiga kata ini: Tolong, Maaf, Terima Kasih.

Kini banyak perkawinan Katolik mengalami goncangan. Ada keluarga Katolik yang mengalami keretakan. Penyebab keretakan bermacam-macam, bisa disebabkan percekcokan (masalah ekonomi, beda pendapat, 'selera'), kekerasan fisik, masalah keturunan, kecacatan fisik salah seorang pasangan, selingkuh, campur tangan orang tua dari pasangan, dan sebagainya. 

Tentu persoalan ini datang kapan saja dan tidak mudah diprediksi. Masa perkenalan yang singkat dengan pasangan juga menjadi penyebab utama. Perkenalan yang tidak mendalam mengenai kelebihan dan kekurangan pasangannya, berakibat fatal. Sebab biasanya setelah menikah baru kelihatan 'wajah aslinya'. 

Masa perkenalan yang romantis dan tanpa pertengkaran (pertengkaran bukan dalam arti kekerasan fisik tetapi beda pendapat atau beda prinsip) perlu diwaspadai. Sebab biasanya hanya untuk meluluhkan pasangannya, ia menunjukkan segala kebaikannya dan tidak ingin keburukannya dilihat pasangannya. Masa perkenalan/pacaran adalah masa dimana orang belajar untuk mempertimbangkan; Apakah aku sanggup hidup bersamanya, dengan tipe pribadi demikian. 

Ada juga kasus lain, seseorang menikah karena pengaruh emosi, misalnya di tinggal kekasih. Menikah hanya untuk membalas dendam atau untuk menghindar dari rasa sakit hati itu. Akibatnya tidak ada lagi perhatian dan cinta, yang ada bisa jadi hubungan yang tegang, karena pengaruh psikologi yang dialami berdampak pada relasinya.

Baca juga: Persiapan Pernikahan yang Wajib Dipersiapkan dari Jauh-jauh Hari, Calon Manten Wajib Tahu Nih!

Perkawinan merupakan rahmat Allah, maka perkawinan itu pula seperti harta dalam bejana tanah liat. Seperti bejana tanah liat kehancuran dapat terjadi lewat hal-hal kecil. Tidak ada orang yang sempurna, tetapi kita belajar untuk mendekati kesempurnaan itu. yang penting diingat bahwa perkawinan tidak merubah kepribadian seseorang, dan jangan terhanyut dalam perasaan sesaat harus berani membuat keputusan. 

Perasaan jatuh cinta tidak memandang usia dan itu adalah hal yang wajar, dan menjadi tidak wajar jika perasaan itu diikuti dan mengabaikan janji perkawinan yang telah diucapkan. Anak jangan dijadikan korban dari keegoisan orang tua, masa depan anak dimulai dari cinta dan perhatian orang tua. 

Jika cinta itu dipenuhi dan diperoleh, maka kebahagiaan keluarga yang didambakan akan terwujud. Tidak ada orang yang lahir sempurna, pasangangan bukanlah malaikat, dan setiap pribadi membutuhkan usaha dan pengorbanan lebih, maka jadikanlah keluarga sebagai ruang pengampunan bukan ruang pertempuran/perang. 

Pasangan adalah rahmat Allah yang diberikan dan perlu di jaga, ia bukan dimiliki karena usaha pribadi dalam menemukannya. Jadi, pasangan adalah bagian dari diriku, bukan ia terpisah di luar diriku. Dengan demikian, hal itu sejalan dengan sabda Yesus "...sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mrk 10:8-9)".

"Perkawinan adalah sebuah ikatan suci, dimana setiap pribadi terikat dan disucikan didalamnya"

Oleh: Yohanis Lando

Mahasiswa Program Studi Teologi

Semester V

Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun