Pengertian Sakramen secara Teologis
Pengertian sakramen secara Teologis yaitu semua perkawinan yang secara sah menurut Gereja Katolik mempunyai nilai sakramen. Perkawinan sah yang dimaksud adalah perkawinan antara katolik dan katolik, antara seorang katolik dan non-katolik yang tidak dibaptis. Nilai sakramennya yaitu semua perkawinan yang sah secara katolik membawa keselamatan bagi manusia dan di dalamnya Allah hadir. Perkawinan yang sah bukanlah perkawinan yang sakramen dalam arti Teknis-Yuridis.
Pengertian Sakramen secara Teknis-Yuridis
Pengertian sakramen secara Teknis-Yuridis adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita yang telah dibaptis. Perkawinan antara orang yang tidak baptis, dengan sendirinya akan diangkat ke dalam martabat sakramen jika keduanya dipermandikan(dibaptis).[3] Dengan demikian mereka yang telah melakukan pernikahan sebelum dibaptis dan kemudian hari keduanya menerima permandian, tidak dituntut perjanjian nikah baru, namun dapat meminta berkat Imam.Â
Pada dasarnya perkawinan sebagai sakramen tidak terletak pada pemberkatan seorang imam, tetapi pada pelayan sakramen itu sendiri yaitu kedua mempelai yang mengikrarkan janji perkawinannya. Maka, perkawinan sebagai sakramen ini tidak menuntut maksud khusus untuk mempelai (yang bukan katolik) menerimanya sebagai sakramen, seperti pernikahan beda gereja (Katolik dan Kristen Protestan) atau Kristen Protestan dan Kristen Protestan.Â
Baca juga: Ketika Hubungan Pernikahan Mulai Hambar, Segera Lakukan 3 Hal Ini
Namun, pembaptisan yang dimaksud dalam hal ini menjadikan perkawinan sebagai sakramen harus sah sebagaimana diatur dalam kanon 849, "Baptis, pintu sakramen-sakramen, yang perlu untuk keselamatan....hanya dapat diterimakan secara sah dengan pembasuhan air sungguh bersama rumus kata-kata yang seharusnya."[4]
Kedua pengertian tentang sakramen di atas tidak saling terpisah, tidak membuat perbedaan seolah-olah yang sakramen secara Teknis-Yuridis lebih tinggi dari perkawinan yang sah tetapi tidak sakramen. Gereja Katolik sangat menghormati kebebasan setiap pribadi, maka gereja juga tidak memaksakan untuk seseorang harus beragama Katolik.Â
Yang terpenting adalah kedua pribadi yang melangsungkan perkawinan baik itu antara katolik dan kristen lainnya maupun katolik dan non-kristen (tidak baptis, misalnya Islam, Hindu, Buddha), sunguh-sungguh menghayati hakikat perkawinan.Â
Hakikat dari perkawinan yaitu mengarah pada kebersamaan seluruh hidup yang mencakup kesejahteraan suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak.[5] Dalam hal ini setiap pribadi harus sungguh-sunguh yakin akan perkawinan yang dilakukannya sangat sakral. Semua demi keselamatan, maka setiap pribadi berkewajiban untuk mengembangkan apa yang menjadi tujuan dari perkawinannya.
Untuk Direfleksikan