Mohon tunggu...
Yohanes Jeng
Yohanes Jeng Mohon Tunggu... Novelis - Filsafat

Mengubah dunia dengan mengubah diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Arti dari Menjadi Suami dan Istri dalam Perkawinan Gereja Katolik

4 Desember 2019   16:54 Diperbarui: 21 Juni 2021   11:57 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hal ini setiap pribadi yang ingin dan yang telah membangun hidup berkeluarga, perlu bertanya apa yang perlu saya benahi dengan diri saya? Jangan selalu mempersalahkan orang lain dan menghakimi, tetapi lihatlah diri sendiri dan bertanya: Apakah saya telah menjadi seorang pribadi yang dewasa, bersedia mendengarkan dan menghargai, tahu memberi perhatian dan cinta yang tulus, tanpa modus? Mengapa hal itu penting? 

Dalam perkawinan bukan soal ia cantik atau ganteng, punya harta yang melimpah, punya popularitas, tetapi yang terpenting dan mendasari perkawinan adalah cinta kasih. Lalu orang berargumen, bahwa, Orang bahagia dalam hidup ketika ia punya banyak harta. Benarkah demikian? Orang yang punya banyak harta sering takut dan gelisah, bagaimana jika hartanya dicuri? 

Bahkan setiap orang yang datang ke rumahnya selalu dicurigai, jangan sampai ingin mengambil hartanya. Apakah ia bahagia? Lalu ada juga yang berpendapat, Jika cinta yang diutamakan, maka yang dilakukan hanya bercinta dan pada akhirnya mati kelaparan. Tentu cinta yang dimaksudkan bukan sebatas pemenuhan kebutuhan seksual. 

Cinta yang dimaksudkan yaitu cinta yang dewasa (tulus tanpa modus). St. Thomas Aquinas pernah mengungkapkan tentang cinta yang dewasa, "Cinta yang dewasa timbul karena menghendaki yang baik bagi orang lain". 

Dalam arti ini, cinta yang dewasa melahirkan hal-hal yang baik bagi orang lain; senantiasa memandang orang lain sederajat (tidak saling merendahkan), senantiasa berusaha membangun komunikasi yang sehat (tidak menggurui dan selalu merasa diri benar), punya hati untuk mengampuni (pengertian), dan bertanggung-jawab atas kehidupan bersama (saling mendukung dan melengkapi). Atau dalam bahasa Paus Fransiskus, dalam hidup berkeluarga perlu ada tiga kata ini: Tolong, Maaf, Terima Kasih.

Kini banyak perkawinan Katolik mengalami goncangan. Ada keluarga Katolik yang mengalami keretakan. Penyebab keretakan bermacam-macam, bisa disebabkan percekcokan (masalah ekonomi, beda pendapat, 'selera'), kekerasan fisik, masalah keturunan, kecacatan fisik salah seorang pasangan, selingkuh, campur tangan orang tua dari pasangan, dan sebagainya. 

Tentu persoalan ini datang kapan saja dan tidak mudah diprediksi. Masa perkenalan yang singkat dengan pasangan juga menjadi penyebab utama. Perkenalan yang tidak mendalam mengenai kelebihan dan kekurangan pasangannya, berakibat fatal. Sebab biasanya setelah menikah baru kelihatan 'wajah aslinya'. 

Masa perkenalan yang romantis dan tanpa pertengkaran (pertengkaran bukan dalam arti kekerasan fisik tetapi beda pendapat atau beda prinsip) perlu diwaspadai. Sebab biasanya hanya untuk meluluhkan pasangannya, ia menunjukkan segala kebaikannya dan tidak ingin keburukannya dilihat pasangannya. Masa perkenalan/pacaran adalah masa dimana orang belajar untuk mempertimbangkan; Apakah aku sanggup hidup bersamanya, dengan tipe pribadi demikian. 

Ada juga kasus lain, seseorang menikah karena pengaruh emosi, misalnya di tinggal kekasih. Menikah hanya untuk membalas dendam atau untuk menghindar dari rasa sakit hati itu. Akibatnya tidak ada lagi perhatian dan cinta, yang ada bisa jadi hubungan yang tegang, karena pengaruh psikologi yang dialami berdampak pada relasinya.

Baca juga: Persiapan Pernikahan yang Wajib Dipersiapkan dari Jauh-jauh Hari, Calon Manten Wajib Tahu Nih!

Perkawinan merupakan rahmat Allah, maka perkawinan itu pula seperti harta dalam bejana tanah liat. Seperti bejana tanah liat kehancuran dapat terjadi lewat hal-hal kecil. Tidak ada orang yang sempurna, tetapi kita belajar untuk mendekati kesempurnaan itu. yang penting diingat bahwa perkawinan tidak merubah kepribadian seseorang, dan jangan terhanyut dalam perasaan sesaat harus berani membuat keputusan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun