Mohon tunggu...
Yohanes De Britto Wirajati
Yohanes De Britto Wirajati Mohon Tunggu... Penulis - Dosen Jurusan Seni Murni FSRD ISI Surakarta

Dosen/Peneliti/Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Orang-orang Tionghoa dan Peranakannya di Indonesia Era Orde Baru

29 Oktober 2020   22:46 Diperbarui: 29 Oktober 2020   22:54 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat pecahnya kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, yang menandai runtuhnya pemerintahan rezim Orde Baru, orang-orang Tionghoa menjadi obyek pelampiasan dari kondisi frustasi dan depresi yang dialami oleh kelompok massa di Jakarta akibat krisis moneter. Orang-orang Tionghoa yang dicap sebagai orang kaya, akibat konstruksi sosial yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, dijarah harta bendanya, dibakar rumah dan tokonya, serta tak jarang diperkosa dan dianiaya sampai mati di tempat.

James Siegel, dalam tulisannya yang berjudul Pikiran-Pikiran Awal Tentang Kekerasan 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta mencoba untuk menelusuri munculnya sebab-sebab ideologis dari aksi kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa dan peranakannya pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. 

Menurut Siegel, pada akhir masa berkuasanya Orde Baru, orang-orang Tionghoa dan peranakannya tidak lagi diidentifikasi melalui tempat kelahiran, nama, ataupun bahasa yang mereka gunakan. Orang Tionghoa bukan berarti harus lahir di Tiongkok, memiliki nama Tionghoa, dan berbahasa Mandarin. 

Namun pertama-tama orang-orang Tionghoa adalah orang kaya. Jika seseorang dipandang kaya, memiliki kulit putih, dan bermata sipit maka orang-orang pribumi akan mengganggapnya Tionghoa. Hal ini dibuktikan dengan pengalaman Siegel mewawancarai orang-orang pribumi pasca kerusuhan Mei 1998. Seluruh narasumber yang diwawancarainya rata-rata takut dikira Tionghoa, hanya karena kaya dan memeliki banyak harta. Mereka takut menjadi target penjarahan.          

Catatan Akhir

Melalui tulisan ini, ada dua hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, praktek diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh golongan orang-orang Tionghoa dan peranakannya di Indonesia selama Orde Baru berakibat pada terjadinya proses alienasi terhadap golongan tersebut. Orang-orang Tionghoa dan peranakannya kehilangan akses atas dunia politik dan pertahanan keamanan, seperti yang dituliskan oleh Ben Anderson dalam artikel Tjino' di Indonesia. 

Ben menuliskan bahwa "Aparat keamanan -- 50 tahun setelah Indonesia merdeka -- tetep 99% bersih dari warganegara jang "Tjino". Pada paragraf yang berbeda, Ben kembali menuliskan "...selama orde baru tidak pernah ada menteri atawa djenderal jang "djelas Tjino"...".

Kedua, berbagai data sejarah yang dihimpun oleh Ben anderson, Siauw Giok Thjan, James T. Siegel dan Seno Gumira Ajidarma menunjukkan bahwa imaji pribumi terhadap orang-orang Tionghoa dan peranakannya, pada masa kepemimpinan mantan presiden Suharto adalah konstruksi Kolonial yang dihidupkan kembali oleh rezim Orde Baru. Tentunya konstruksi imaji tersebut disesuaikan dengan kepentingan  penguasa semata, yaitu pemerintahan Orde Baru.

 

 

Sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun